Putu Rumawan Salain. (BP/kmb)

Oleh Putu Rumawan Salain

Keindahan suatu kota sangat didukung oleh tertibnya tata bangunan, taman kotanya yang bersih, indah, serta terawat, dukungan fasilitas publik yang aksesnya mudah dan merata, sejuk, nyaman, aman dan sebagainya yang didukung oleh wajah nonfisik berupa keramahtamahan penduduknya, tertib dan disiplin terhadap peraturan, dan lainnya. Dan yang pasti oleh dukungan lampu jalan atau taman di malam hari yang indah, terang dan tidak menyilaukan mata dengan kabel tanam.

Keindahan dimaksud dapat saja menjadikannya citra sebuah kota dari suatu wilayah, seperti Pulau Bali yang kental dengan identitas sosial dan budayanya. Seperti yang terlihat pada bangun arsitekturnya, landskap, penanda “sinage”, ruang / fasilitas publik, maupun batas wilayah perkotaan hinga perdesaan.

Kiranya identitas kota tersebut diatas tidaklah terlalu jauh dari pendapat Lynch yang termuat dalam bukunya “Image the City” (1960), yang menyebutkan lima elemen pembentuk citra kota yaitu : Path (jalur), Edges (batas atau tepian), Districts (Kawasan), Nodes (Simpul), dan Landmark (Tetenger).

Bahkan unsur-unsur dalam membentuk suatu kawasan kota juga dijumpai pada buku “Urban Design Process” oleh Shirvani (1985) ada 8 yaitu : Tata Guna Lahan (Land Use), Bentuk dan Kelompok Bangunan ( Form and Mass Building), Ruang Terbuka (Open Space), Parkit dan Sirkulasi ( Parking and Circulation), Tanda-Tanda (Sinages), Jalur Pejalan kaki (Pedestrian Ways), Pendukung Kegiatan (Activity Support), dan Preservasi (Preservation).

Baca juga:  Standar Menghadapi Bencana

Unsur preservasi untuk kasus Bali sangatlah penting, perlu, dan menjadi utama mengingat bahwa setiap objek yang dipreservasi pastilah merupakan tinggalan masa lalu yang telah terekam oleh mata ataupun lensa kamera yang sudah mendunia dan dapat menjadi titik penanda sutu wilayah yang bentuk maupun masa bangunannya sekaligus telah menjadi bagian dari identitas wajah perkotaan. Seperti misalnya patung Catur Muka di dekat titik nol Provinsi Bali di Kota Denpasar, Bale Kulkul pada setiap Bale Banjar, Kahyangan Tiga pada setiap desa, setra “kuburan”, Pasar, dan lain sebagainya.

Citra Kota yang terbentuk karena Path (Jalur) dan Districts (Kawasan) merupakan pengejawantahan dari akses sirkulasi yang menghubungkan antar  kawasan di perkotaan atas dasar fungsinya, Jalur yang ada umumnya digunakan untuk kepentingan transportasi dan sekaligus  sebagai jalur pendistribusian daya listrik dan lampu penerangan Jalan (LPJ).

Tiang-tiang listrik dan kabelnya akan terbentang dari satu titik ke titik berikutnya. Tidak jarang dalam satu titik terdiri dari banyak tiang yang menyangga banyak kabel. Kondisi semacam ini dapat dilihat di sepanjang jalan di perkotaan.

Banyaknya kabel yang menggantung berakibat pada kesulitan mengatur tanaman/pohon hias di sepanjang jalan. Di beberapa titik padatnya tiang dan banyaknya untaian berbagai kabel dipenuhi oleh tanaman rambat. Dampak yang dirasakan adalah sangat mengganggu pandangan mata atau pun juga bagi mata kamera.

Baca juga:  Modal Pertumbuhan Pariwisata 2022

Di samping itu di Bali dijumpai acara ngaben yang dilengkapi dengan sarana lembu, wadah atau bade, dan lainnya. Pada masa lalu dimintakan izin pemutusan sementara, kini sudah ada cara lain dengan merancang tingkat “tumpang” bade tersebut bisa dibuat rebah. Namun yang terbaik adalah bahwa  di pusat-pusat perkotaan yang padat hendaknya tidak memasang jalur kabel listrik melalui tiang baik yang searah jalur maupun melintang.

Demikian pula di pusat-pusat perkotaan sering terlihat adanya kabel listrik aneka dimensi yang terpasang pada dinding fasade bangunan. Pandangan dari jalan terlihat rapi, akan tetapi dikhawatirkan ada indikasi kabel akan retak atau putus jika terjadi gempa dengan goyangan horizontal karena struktur bangunan yang rijid dengan kabel yang panjangnya sesuai dengan bentang toko yang menyatu dalam deretan bangunan.

Dengan memperhatikan eksisiting di lapangan bila dikaitkan dengan estetika kota yang beridentitas, maka dapat disimpulkan bahwa kabel-kabel listrik yang berada di sepanjang sisi jalan merupakan kabel distrubusi daya listrik ke pelanggan. Keberadaan tiang distribusi tersebut umumnya ditumpangi untuk kepentingan lampu jalan. Kini dengan pertimbangan estetika dan kemajuan jaman sudah ada upaya untuk memisahkannya.

Di Jakarta kota yang padat dengan kebutuhan daya listrik yang besar dan tentunya juga untuk kepentingan estetika di beberapa lokasi telah menggunakan pendistribusian daya listrik melalui kabel dibawah tanah yang ditempatkan pada kontruksi berupa ducting. Bagaimana dengan Bali? Sudahkah memiliki instalasi kabel listrik tanam? Tentu ada, dan keberadaannya dapat dilihat di Kawasan Nusa Dua, Bali. Awalnya  kabel daya listrik ditanam disalah satu sisi jalan, keberikutnya ada yang telah menggunakan ducting yang dibangun dengan box culvert dengan fungsi dan dimensi yang diperlukan.

Baca juga:  Fenomena Bunuh Diri Mahasiswa

Sumber daya listrik bagi lampu jalan, kini dengan kemajuan teknologi dapat saja bersumber dari energi alternatif yaitu dari sinar matahari. Dengan mencermati uraian di atas ternyata bahwa estetika suatu kota sangat perlu dan penting.

Keindahan tersebut memberikan efek rasa nyaman bagi penghuninya. Pemasangan kabel listrik dengan tiang penyangga sepanjang jalan menurunkan kualitas estetikanya. Kualitas tersebut kian menurun lagi ketika banyak penambahan permintaan pelayanan wifi, telepon, televisi melalui kabel serat optik.

Sudah saatnya kota-kota besar di Bali menggunakan kabel tanam dengan ducting berupa box culvert. Penggunaan box culvert tersebut dapat dirancang satu kesatuan dengan instalasi sejenis lainnya. Jika rencana tersebut dapat terlaksana semisal di Kota Denpasar, Badung, Gianyar, Bangli, dan Kabupaten lainnya secara bertahap, maka Adat dan Budaya Bali sangat bergembira, karena kegiatan upacara ngaben tidak akan terhalang akibat bentangan kabel listrik yang melintang diatas jalan. Kota kan menjadi bersih dan indah! Semoga.

Penulis, Guru Besar Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Udayana

BAGIKAN