Prof. I Nyoman Sucipta. (BP/Istimewa)

Oleh I Nyoman Sucipta

Ketika ketersediaan pangan di perkotaan terbatas akan memperkecil biaya distribusi. Selain menjamin ketersediaannya, juga akan menstabilkan harga di pasaran, maka alokasi kegiatan pertanian di perkotaan mesti juga harus masif dalam menyalurkan program-program untuk masyarakat petani. Saat ini sudah terjadi selama bertahun-tahun berkurangnya luas lahan pertanian di kota di wilayah-wilayah Indonesia. Kondisi ini telah mengakibatkan kegiatan pertanian juga berkurang yang berdampak pada ketersediaan bahan pangan masyarakat.

Perubahan gaya hidup masyarakat yang kerap disebut kehidupan normal baru, membuat peluang bagi petani di perkotaan sebagai produsen pangan untuk menghadirkan pangan segar asal tumbuhan yang aman secara kuantitatif maupun kualitatif. Di perkotaan dalam mengembangkan komoditas pertanian masih sekedar hobi. Kehidupan perkotaan seringkali dianggap sebagai penyebab menurunnya kualitas lingkungan, namun sebenarnya kawasan perkotaan sendiri dapat menjadi solusi bagi beragam permasalahan lingkungan yang ada. Hal ini dimungkinkan karena dibandingkan dengan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan memiliki lebih banyak modal keuangan, manusia, dan sosial serta kesemuanya terkonsentrasi (Leitmann, 1999).

Penghuni perkotaan juga secara umum mempunyai akses yang lebih baik terhadap kesehatan, transportasi, pendidikan, pelayanan sosial, dan informasi lingkungan dari pada penduduk perdesaan. Dalam memproduksi pangan, sistem pertanian perkotaan inovatif telah mengubah cara orang dalam meningkatkan sumber produksi pangan baru. Inilah penanda datangnya revolusi hijau kedua, revolusi untuk pemenuhan kebutuhan pangan masa depan dengan mendekatkan lokasi produksi langsung kepada konsumen yaitu mayoritas populasi dunia (masyarakat urban). Revolusi akan sistem pertanian yang lebih efektif, efesien, dan dianggap ramah lingkungan.

Baca juga:  Kepemimpinan Indonesia di ASEAN

Tetapi apakah sistem pertanian perkotaan ini bisa berkontribusi signifikan dalam menciptakan ketahanan pangan dunia? Kontribusi sistem pertanian inovatif dalam program ketahanan pangan, pertama jumlah potensial produksi global. Penelitian Zezza dan Tascioti (2010) di 15 negara berkembang mencatat proporsi pertanian perkotaan dalam sistem pertanian secara keseluruhan persentasenya variatif, mulai 3 sampai dengan 27%. Sedangkan hasil panennya bisa mencapai 50 kilogram per meter persegi. Sementara di negara maju, seperti pertanian Aerofarm di New Jersey, AS hasil panennya bahkan mencapai 140 kilogram per meter persegi (Orsini et al., 2013).

Kedua, cakupan hasil produk. Saat ini memang produk holtikultura (sayuran dan buah) masih mendominasi hasil pertanian perkotaan. Karena perawatannya yang mudah, praktis dan cepat panen. Tapi kini tanaman sumber karbohidrat mulai diuji coba ditumbuhkan di perkotaan. Bahkan diversifikasi pun sudah merambat ke hasil produk sumber protein hewani. Yakni dengan teknik aquaponik yang menggabungkan produksi hortikultura dan perikanan. Dalam catatan FAO (2007), hasil pertanian perkotaan memenuhi 10-100% kebutuhan sayuran penduduk urban. Kontribusi di negara berkembang lebih besar angkanya dibandingkan di negara maju (FAO, 2014).

Baca juga:  Model Penggerak Pertanian Perkotaan

Ketiga, daerah pertanian potensial. Luasan daerah pertanian perkotaan semakin meningkat khususnya di negara-negara maju, Hasil studi Polling et al (2016) di sebuah kota metropolitan di Jerman contohnya, luas lahan pertanian perkotaannya mencapai 33% dari luas wilayah kota. Namun yang paling menjanjikan adalah optimasi lahan vertikal untuk perluasan pertanian perkotaan. Contohnya Skyfarm, sebuah pertanian aeroponik rumah kaca vertikal setinggi 20 lantai yang menempati total lahan 1 hektar (Germer et al., 2011). Per tahunnya Skyfarm mampu memproduksi 200 kali lipat bijih beras (hampir 900 Mg) dibandingkan dengan produsen beras reguler paling produktif di Mesir (sekitar 8 Mg).

Keempat, jumlah potensial praktisi pertanian perkotaan inovatif. Data tentang jumlah pasti praktisi sistem pertanan ini masih sumir. Namun menurut Armar-Klemesu (2001), diperkirakan ada 800 juta petani urban secara global. 100 sampai dengan 200 juta diantaranya memproduksi sayuran segar untuk pasar pada tahun 2000. Sedangkan jumlah praktisi pertanian perkotaan di 15 negara berkembang yang diteliti Zezza dan Tascioti (2010) bervariasi prosentasenya dari 11 hingga 69%.

Baca juga:  Siapkah Bali Mengakhiri Restrukturisasi Kredit?

Dari berbagai potensi di atas bahwa kombinasi pertanian perkotaan inovatif dalam berbagai skala praktik (kecil, menengah, maupun komersial) mampu mendukung tiga dimensi ketahanan pangan, yakni ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan.

Meskipun masih diperdebatkan, sistem pertanian inovatif juga berpotensi berkontribusi pada stabilitas pangan (termasuk keamanan pangan), dengan mengurangi ketergantungan pada rantai penyediaan pangan yang panjang dan kurang berkembang (poorly developed food value chains), dari produsen di pedesaan ke konsumen di perkotaan. Dengan demikian  sistem pertanian perkotaan inovatif telah meretas jalan menuju revolusi hijau kedua. Mengemban misi suci terutama Sustainable Development Goals nomor 2: melenyapkan kelaparan dari muka bumi. mengembangkan pertanian di perkotaan ini di arahkan kepada kegiatan profesional dengan berbagai arahan seperti fasilitator penyuluhan hingga bantuan anggaran untuk memulai usaha.

Penulis Guru besar pada Program Studi Teknik Pertanian dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana

BAGIKAN