Seorang pedagang kaki lima di wilayah Kota Denpasar, Bali sedang duduk menunggu pembeli. Di tengah pandemi COVID-19, Bali dihadapkan pada penumpukan angkatan kerja lulusan SD hingga SMP dan angka pengangguran yang menunjukkan tren kenaikan. (BP/Hendri Febriyanto)

DENPASAR, BALIPOST.com – Bali dihadapkan banyak dilema dalam mengelola daya saing sumber daya manusianya (SDM). Penumpukan angkatan kerja yang berpendidikan SD dan SMP jelas menjadi hambatan
serius. Menjadi SDM tangguh dan bermental pejuang serta tidak loyo, haruslah menjadi identitas SDM Bali ke depan.

Untuk itu, dunia pendidikan menjadi harapan strategis untuk membangun daya saing SDM Bali. Penguatan SDM kini menjadi program strategis Gubernur Bali Wayan Koster.

Pengamat pendidikan Prof. Dr. Nengah Dasi Astawa mengatakan, SDM Bali bisa bangkit dengan melakukan terobosan dan terus berinovasi. Penumpukan angkatan kerja lulusan SD dan SMP yang kini dominan di Bali harus diurai dari berbagai hal.

Semua kondisi dan faktor ada keterkaitan. ‘’Kesalahannya bukan pada sistem pendidikan. Kesalahannya ada pada sikap mental atau mindset manusianya. Apalagi di Bali kebanyakan bersikap
priyayi yakni masih memilih-milih pekerjaan,’’ ujarnya.

Demikian juga ketika terjadi pengangguran kini juga banyak dari kalangan SMK dan sarjana. Jelas ini bukan kesalahan model pendidikan di tingkat menengah dan perguruan tinggi. Alasannya pendidikan bersifat normatif yakni mengarahkan SDM menjadi lebih berkualitas. Namun perubahan mindset
justru terjadi lewat pendidikan.

Baca juga:  Bertemu Jack Ma, Menkominfo akan Bicarakan Ini

Perubahan mindset dan budaya yang pertama mesti terjadi di keluarga. Orangtua mesti memberi akses pendidikan setinggi-tinggi kepada anak-anak mereka. Kemudian lanjut di pendidikan formal.

Ranah edukasi ini akan membentuk anak berkarakter menjadi SDM petarung tangguh atau sebaliknya menjadi SDM bermental kerupuk. Dia pun mengkritisi
sikap mental SDM Bali yang belum menjadi petarung tangguh sehingga kalah bersaing dalam segala hal.

Ia mengatakan lulusan SLTA dan PT di Bali enggan bekerja padahal banyak sektor yang masih bisa digarap. ‘’Mereka menjadi pengangguran karena tak manfaatkan model job seeker dan job creator alias menciptakan lapangan pekerjaan karena semua itu disiapkan di dunia pendidikan. Mereka tak mau manfaatkan keunggulannya dibandingkan naker lain yakni ruang berusaha yang tak perlu ngontrak, memiliki lahan mandiri, punya keluarga sebagai jejaring usaha dan lainnya,’’ jelasnya.

Baca juga:  Hulu-Hilir Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali

Kadisdikpora Bali, Dr. Ketut Ngurah Boy Jayawibawa, M.Si., mengungkapkan fakta ini merupakan tantangan bagi kita semua (pemerintah dan stakeholder) sekaligus sebagai PR ke depannya agar anak-anak (SD/SMP) dapat melanjutkn pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (minimal SMA/SMK). Oleh karena itulah Pemprov Bali di bawah kepemimpinan Wayan
Koster berupaya sekaligus menitikberatkan sebagai program prioritas untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Dengan cara penyiapan sarana prasarana untuk memberikan jangkauan yang lebih luas dalam pemberian layanan pendidikan di Bali. Dia menegaskan tak ada yang salah dalam sistem atau model pendidikan. Karena ada sejumlah variabel yang menjadi persoalan ketika seorang anak/siswa apakah tetap melanjutkan sekolahnya atau berhenti sekolah.

Soal pengangguran, menurut Boy Jayawibawa hal ini juga menjadi tantangan serta sebagai evaluasi agar SMK meningkatkan sinergi dengan pihak Iduka (industri dan dunia kerja) sejak dari penyusunan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan industri. Termasuk pemagangan bagi guru dan siswa, pemanfaatan ruang praktik Iduka, bahkan sampai perekrutan yang tertuang dalam MOU sekolah dan dunia industri.

Baca juga:  Masa Tenang, Satpol PP Bali Siap Cabut Baliho Politik

Plus Minus Belajar Daring

Pembelajaran daring kini menjadi model. Plus minus
pembelajaran ini pun harus direspons dengan pendekatan yang lebih arif. Dari sisi positif, penyebaran Covid-19 bisa dicegah, namun dari sisi kualitas pembelajaran tentu berbeda.

Psikolog RSUD Wangaya Nena Mawar Sari, Senin (27/12) menuturkan, berdasarkan pengalamannya menangani klien, dengan pembelajaran daring
kemampuan sosialisasi siswa berkurang karena kurangnya interaksi, menimbulkan dampak psikis
bagi anak seperti kebosanan dan emosional.

Yang paling disoroti dari pembelajaran daring adalah
kecanduan pada gadget karena semua hal terkait sekolah berbasiskan gadget. “Dan anak-anak mulai jenuh, mereka tidak bisa mengekspresikan
perasaannya. Kalau bertemu langsung, bertemu fisik, mereka bisa berekspresi. Sekarang engga ada, jadinya mereka balik ke game lagi, dan itu menimbulkan perilaku buruk,” ungkapnya. (Sueca/Citta Maya/balipost)

BAGIKAN