I Gusti Ngurah Widya Hadi Saputra, S.M., M.S.M. (BP/Istimewa)

Oleh I Gusti Ngurah Widya Hadi Saputra, S.M., M.S.M

Belakangan, momen gebrakan diumumkan sang founder dan CEO Facebook, Mark Zuckerberg, tentang perubahan brand bisnis teknologi yang dinaunginya Facebook Inc., menjadi Meta. Dalam rilisnya, Mark menyampaikan sebuah gagasan dan konsep one singularity dari platform-platform yang ada dalam Meta, sebuah gagasan yang kemudian digaungkan oleh banyak kalangan dengan sebutan Metaverse.

Konsep metaverse ini sebenarnya tidak muncul dalam benak Mark semata, melainkan sudah muncul lebih dulu dalam novel fiksi ilmiah karya Neal Stephenson tahun 1992, Snow Crash. Dikisahkan manusia, sebagai avatar, berinteraksi satu sama lain dan agen perangkat lunak, dalam ruang virtual tiga dimensi yang menggunakan metafora dunia nyata.

Dalam gambaran keduanya, metaverse menggabungkan berbagai macam teknologi dan platform yang bisa kita jumpai saat ini, sebut saja media sosial, game online, Augmented Reality (AR), Virtual Reality (VR), dan cryptocurrencies, menjadi sebuah kesatuan dalam sebuah dunia yang interaktif dan terintegrasi yang mampu dijelajahi dan dinikmati oleh para usernya. One Digital World.

Baca juga:  Miliki Keunggulan Nilai Luhur, Indonesia Berpeluang Besar Kembangkan Metaverse

Teknologi yang ada saat ini tentunya menjadi
infrastruktur pendukung dalam terciptanya dunia
baru, metaverse. Augmented dan virtual reality akan memberi suasana dan “rasa nyata” bagi para peselancar dunia digital tersebut.

Belum lagi dukungan teknologi blockchain dan cryptoassets maupun cryptocurrencies yang nantinya dapat digunakan sebagai sarana transaksi di metaverse. Memang, dalam konsep yang ditawarkan Mark, di metaverse, para user kemudian dapat memiliki dan membeli aset dalam bentuk digital, bahkan dapat digunakan oleh avatar mereka ketika bersosialisasi di dunia tersebut.

Wow! Kalau kalian membayangkan lebih lanjut, mirip dengan game The Sims ya? Bahkan aset digital yang telah dibeli oleh user, seperti tanah, rumah, baju, mobil, atau pun karya seni digital dan lainnya akan dilengkapi sertifikat

kepemilikan yang sah. Tentunya aset tersebut
dapat diperjualbelikanke orang (user) lain atau
tetap akan menjadi milik kalian selama tidak di￾perjualbelikan keorang lain. Konsep ekonomi juga
berlaku dalam hal tersebut, yaitu ketika demand
terhadap aset yang telah kalian miliki semakin
tinggi, maka harganya bisa jadi melambung pula.

Baca juga:  BRI Hadirkan Metaverse untuk Pembelajaran Pekerjanya

Lalu, bagaimana konsep metaverse ini memberikan peluang bagi ekonomi digital ke depannya? Seperti yang sekilas dijelaskan sebelumnya, metaverse kemudian mampu menjadi peluang bagi para
pelaku digital economy.

Dalam bentuk apa? Kembali lagi ditekankan : aset digital. Seperti apa aset digitalnya?

Kita kemudian masuk ke pembahasan mengenai NFT atau Non-Fungible Token. NFT merupakan aset digital yang mewakili objek di dunia nyata, baik dalam bentuk seni, musik, item dalam game, hingga video.

NFT bisa diperjualbelikan secara online, seringkali dengan cryptocurrency dan umumnya dikodekan dengan software yang sama dengan banyak kripto. Contoh NFT yang belakangan sedang hits di pasar digital adalah Bored Ape Yacht Club.

Bored Ape Yacht Club, dibuat oleh Yuga Labs adalah serangkaian 10.000 gambar avatar pixel yang dicetak dalam bentuk NFT di blockchain Ethereum. Bored Ape Yacht Club yang telah dirilis sejak April 2021 hingga saat ini berhasil mencapai nilai kapitalisasi pasar
pada level 1,108,538,027.86 dolar AS atau setara
Rp15,7 triliun.

Baca juga:  Metaverse, Tantangan Perlindungan Data Pribadi

Bisa dibayangkan, bagaimana peluang dalam
ekonomi digital ke depan, di tengah menyeruaknya
metaverse. Contoh ini baru segelintir saja, bayangkan kalua misalnya dalam konsep metaverse, aset yang diperjualbelikan bukan hanya pada kategori digital art saja? Infrastruktur dan properti?

Para arsitek kemudian dapat bekerjasama dengan
programmer untuk mengubah desain yang telah
dibuatnya dalam bentuk nyata berupa coding dan
struktural di dunia digital, yang dapat diperjualbelikan ke para user yang ingin memiliki properti di metaverse.

Transportasi? Perusahan otomotif kelas dunia pun bisa berpindah memproduksi kendaraan digital yang dapat digunakan oleh user metaverse ketika menjelajahi dunia tersebut.

Fashion designer? Peluang ini juga terbuka luas, mengingat dalam metaverse kita akan bersosialisasi dalam bentuk avatar yang tentunya memerlukan personalisasi dalam tampilannya. Layaknya membeli skin maupun item aksesoris dalam game online.

Salah satu studio design, RTFKT Studios telah terjun dalam NFT ini untuk menyikapi munculnya metaverse
ke depan dengan mendesain sneakers yang diperjualbelikan dalam bentuk NFT.

Penulis, Dosen Prodi Manajemen Universitas
Pendidikan Nasional

BAGIKAN