Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Upaya menghentikan penularan Covid-19 yang keberadaannya tidak kasat mata, terus dilakukan. Pembatasan pergerakan masyarakat sejak dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), PPKM Darurat, hingga PPKM Level IV dan Level III menjadi upaya bersama di seluruh negeri.

PPKM diberlakukan sesuai kondisi pandemi pada masing-masing pemerintah daerah di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Upaya PPKM lokal ini merupakan cara memutus rantai penularan Covid-19 agar pandemi dapat dihentikan dalam batas wilayah kabupaten/kota atau provinsi.

Melalui pola PPKM lokal ini, pemerintah daerah menjadi aktor utama dalam pengendalian pendemi Covid-19 di setiap Kabupaten/Kota dalam koordinasi pemerintah provinsi. Setiap Kabupaten/Kota diberi keleluasaan untuk menentukan standar pembatasan sesuai kondisi masing-masing.

Sementara pemerintah pusat melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan berperan menjadi koordinator PPKM. Sedang implementasinya secara teknis dilakukan melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri, yang ditujukan kepada seluruh Bupati/Wali Kota selaku Kepala Daerah.

Baca juga:  Mewujudkan Guru Penggerak

Sejak otonomi daerah di Indonesia bergulir pada tahun 2004, secara signifikan paradigma pengelolaan pembangunan telah berubah. Otonomi daerah Indonesia diletakkan di Kabupaten/Kota. Kewenangan politik pembangunan menjadi tanggung jawab Kabupaten/Kota. Pemerintah Provinsi menjadi penghubung Pemerintah Pusat dengan Kabupaten/Kota.

Perubahan ini secara tidak langsung memberi dampak cukup signifikan. Para Bupati/Wali Kota sepenuhnya bertanggung jawab terhadap kemampuan daya dukung dalam wilayah yang dipimpinnya. Bupati/Wali Kota harus menjaga kemampuan menyangga beban yang terjadi di wilayahnya sesuai kondisi masing-masing.

Pengendalian penanganan pandemi Covid-19 saat ini lebih tertumpu di pundak para Bupati/Wali Kota. Keberhasilan pengendalian bagai menjadi nilai rapor para kepala daerah dalam mengendalikan pandemi Covid-19. Sehingga sempat muncul adanya upaya kepala daerah menyembunyikan data kondisi pandemi yang dianggap bernilai negatif.

Baca juga:  Transportasi pada Era Baru

Dalam jangka pendek, catatan data tersebut memang seperti rapor nilai biru. Namun secara jangka panjang hal ini justru akan menjadi pemicu kesalahan dalam mengambil keputusan penanganan pengendalian penularan Covid-19. Hal ini tentu akan dapat membahayakan warga yang ada di wilayahnya.

Pandemi Covid-19 seakan menjadi batu ujian bagi para Bupati/Wali Kota selaku kepala daerah, maupun model otonomi daerah itu sendiri sebagai sebuah sistem politik pengelolaan pembangunan yang terdesentralisasi di Indonesia. Hal ini mengingat bahwa selama ini acapkali terjadi miskoordinasi antar para kepala daerah, akibat ego sektoral masing-masing.

Para kepala daerah harus mampu mengendalikan penularan Covid-19 melalui berbagai pembatasan yang ada. Namun sekaligus juga harus tetap mampu meningkatkan produktivitas ekonomi warganya di tengah kondisi pandemi Covid-19. Dalam hal ini tentu diperlukan dukungan dari sisi regulasi dan fasilitasi sektor kesehatan dan ekonomi yang terkoordinasi dengan baik.

Baca juga:  Mitigasi Ekonomi Kebudayaan Bali

Aspek kesehatan dan ekonomi masyarakat harus berjalan seiring, sesuai amanat yang terkandung dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2020 yang mengatur Penanganan Covid-19, serta pemulihan dan transformasi ekonomi Nasional. Pada satu sisi masyarakat harus segera bangkit dari keterpurukan ekonomi, sedang di sisi lain masyarakat harus tetap sehat dan terhindar dari virus Covid-19. Otonomi daerah kita saat ini sedang diuji.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN