
DENPASAR, BALIPOST.com – Upacara yadnya, seperti piodalan bisanya diadakan setiap 6 bulan atau ada juga 1 tahun sekali menurut tradisi berdasarkan wuku atau sasih.
Dalam pelaksanaannya, menurut sulinggih Ida Pandita Mpu Siwa Budha Daksa Darmita dari Griya Agung Sukawati, upakara/banten yang dihaturkan mesti disesuaikan dengan kemampuan. Tidak harus pakai “guling” atau bebangkit khusus atau banten besar lainnya di rumah tinggal atau non-pura besar.
Baginya, melaksanakan upacara tidak mesti mewah yang terpenting esensi dari upacara itu yakni pengorbanan yang tulus ikhlas tanpa pamrih sesuai takaran atau kemampuan krama meyadnya itu. “Cukup pejati lan soda atau rayunan sama seperti purnama atau tilem, ditambah ayaban tumpeng pitu di piyasan atau laapan lan tatebasan odalan,” ujar Ida Pandita, Jumat (19/9).
Ida Pandita mengatakan, berbeda halnya dengan piodalan nemu purnama dengan tingkatkan ayabannya tumpeng pitulas atau menggunakan mapregembal. Jika nonpura besar bisa mabangkit. Itu pun juga tidak mengikat.
“Biasanya (piodalan nemu purnama) datang lama, bisa 7 tahunan. Intinya, sesuai kemampuan dan ketulusikhlasan yang meyadnya. Beragama Hindu sangat fleksibel dan tidak memberatkan,” tegasnya.
Akademisi Unhi Denpasar, Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si., menjelaskan bahwa yadnya itu korban suci tulus ikhlas tanpa pamrih. Sehingga, yadnya yang dilakukan dengan kualitas hati bukan materi yang disebut yadnya satwika.
“Kalau hanya untuk be guling dan mengorbankan dana APBN sampai miliaran itu tergolong rajasika yadnya yang didasari rasa ego,” ujarnya, Jumat (19/9).
Baginya, pemuasan hasrat materialistis, konsumeris, dan hedonis tidak mengarah pada kesadaran religius dan spiritualis. Yadnya semacam ini dipastikan jauh dari karakter humanis. Karena yang dipentingkan materialistis.
Gusti Widana mengungkapkan bahwa dari waktu pelaksanaannya, yadnya dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu utama, madya, dan nista. Dari ketiga tingkatan itu pun dapat juga menjadi tiga bagian kembali.
Mulai dari utamaning utama, utamaning madya, dan utamaning nista. Kemudian, madyaning utama, madyaning madya, dan madyaning nista. Serta nistaning utama, nistaning madya, dan nistaning nista.
Agar tingkatan yadnya tersebut dapat terlaksana lebih efisien, maka pelaksanaannya dapat berdasarkan sastra, yaitu berdasarkan Weda. Berdasarkan sradha, yaitu yadnya harus dengan keyakinan. Lascarya, yaitu keikhlasan menjadi dasar utama yadnya.
Nasmita atau tidak pamer, jangan sampai melaksanakan yadnya hanya untuk menunjukkan kesuksesan dan kekayaan. Sedangkan Anna Sewanam, yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat. (Ketut Winata/balipost)