
DENPASAR, BALIPOST.com – Bali memiliki sebanyak 633 fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes) yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten/kota. Dari jumlah ini, jumlah yang mampu mampu mengelola sampah domestik secara optimal di bawah 20 persen.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Bali, dr. I Nyoman Gede Anom, mengungkapkan bahwa dari data terkini menunjukkan bahwa dari 633 fasyankes di Bali, baru sekitar 16,6% yang telah mengelola sampah domestik secara optimal. Termasuk dengan metode seperti komposting, eco enzyme, dan bank sampah.
Untuk itu, pihaknya mendorong seluruh fasyankes untuk menerapkan sistem pemilahan dan pengolahan mandiri agar tidak membebani TPA. Dikatakan bahwa pengelolaan limbah di fasyankes telah diarahkan untuk mengutamakan prinsip pencegahan dan pengurangan sejak dari sumber. “Saat ini tren pengelolaan limbah adalah dengan meminimalkan timbulan limbah melalui prevention dan 3R (reduce, reuse, recycle),” ujarnya, Kamis (24/7).
Ia menambahkan bahwa sampah domestik menyumbang sekitar 80% dari total limbah di fasyankes, dan perlu dipisahkan secara ketat dari limbah medis atau bahan berbahaya. “Fasyankes kami wajib memilah sampah sejak dari sumber, menyediakan wadah sesuai jenis limbah, serta melabelinya dengan simbol yang tepat,” ungkapnya.
Anom menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk mendukung kebijakan Pemprov Bali yang akan menutup seluruh TPA di Bali pada akhir 2025. “Dengan tidak adanya lagi TPA, maka satu-satunya jalan adalah mengelola sampah secara tuntas dari sumbernya,” tandasnya.
Sementara itu, Duta Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber (PSBS) Provinsi Bali Putri Suastini Koster menegaskan pentingnya pengelolaan sampah yang dimulai dari sumbernya, termasuk di fasyankes. Ia menyoroti pentingnya pengelolaan sampah domestik di rumah sakit, yang sering kali luput dari perhatian.
“Saya yakin limbah medis sudah dikelola sesuai prosedur. Tapi bagaimana dengan sampah domestik dari pasien, dari dapur rumah sakit? Apakah sudah dikelola dengan benar?” tanyanya.
Sebagai solusi konkret, istri Gubernur Bali Wayan Koster ini mengajak semua elemen, termasuk fasyankes untuk melakukan pengolahan sampah organik langsung di sumbernya.
Ia mencontohkan beberapa metode yang dapat diterapkan di rumah maupun di rumah sakit.
Diantaranya, sampah organik basah seperti sisa makanan dan buah-buahan dapat dikelola dengan komposter yang diisi mikroba cair atau eco enzyme.
Hasil dari pengolahan sampah organik menggunakan eco enzyme ini harus diencerkan terlebih dahulu dengan air sebelum digunakan untuk menyiram halaman. Sampah organik kering atau sampah halaman dapat dikelola pada teba modern, yang nantinya dapat menghasilkan pupuk organik.
“Sampah sekecil apapun wajib dituntaskan di tempat asalnya. Ini menjadi kewajiban semua warga Bali tanpa syarat dan tanpa alasan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Putri Koster juga menyampaikan pentingnya peran desa dan komunitas adat, yang ditegaskan melalui berbagai regulasi daerah. Di antaranya, Pergub Nomor 47 Tahun 2019, Keputusan Gubernur Nomor 381 Tahun 2021, dan SE Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 tentang Bali Bersih Sampah. Regulasi tersebut menempatkan kepala desa, lurah, dan jro bendesa sebagai penanggung jawab pengelolaan sampah berbasis sumber. (Ketut Winata/balipost)