
DENPASAR, BALIPOST.com – Dalam kehidupan umat Hindu Bali, pelangkiran bukan sekadar elemen dekoratif atau pelengkap rumah.
Ia adalah bagian penting dari tradisi spiritual yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari, simbol kehadiran ilahi dalam ruang-ruang domestik dan publik.
Pelangkiran adalah sarana doa dan tempat berstana para dewa yang ditempatkan di dalam ruangan. Berbeda dari Merajan atau Sanggah Kemulan yang biasanya berada di pekarangan, pelangkiran ada di tempat yang lebih intim: kamar tidur, dapur, toko, hingga di dalam mobil.
Keberadaannya mencerminkan keyakinan mendalam umat Hindu Bali terhadap hubungan antara dunia nyata dan dunia niskala.
Secara etimologis, kata “pelangkiran” diduga berasal dari kata “langkir” yang bermakna gunung—dalam tradisi Bali, gunung adalah simbol “hulu” atau asal mula kehidupan. Penempatan pelangkiran di sisi kaja (arah gunung) atau kangin (arah matahari terbit) memperkuat makna ini.
Lantas, siapa saja yang dipercaya berstana di pelangkiran? Berikut penjelasannya berdasarkan lokasi penempatan:
1. Dapur
Dewa yang dipuja: Sang Hyang Brahma
Makna: Simbol penciptaan dan keberlangsungan hidup. Pelangkiran di dapur menyucikan aktivitas memasak sebagai bagian dari pengabdian spiritual.
2. Sumur atau Sumber Air
Dewa yang dipuja: Sang Hyang Wisnu
Makna: Penjaga keseimbangan dan pelindung sumber kehidupan melalui unsur air.
3. Pasar
Dewa yang dipuja: Bhatarī Dewa Ayu Melanting
Makna: Pelindung pedagang dan pembeli, simbol keberkahan dalam kegiatan ekonomi.
4. Toko
Dewa yang dipuja: Ida Bhatarī Rambut Sedana
Makna: Dewa rezeki yang dipercaya membawa kemakmuran bagi manusia.
5. Kantor atau Sekolah
Dewa yang dipuja: Bhagawan Panyarikan atau Sang Hyang Aji Saraswati
Makna: Lambang ilmu pengetahuan, kecerdasan, dan kebijaksanaan.
6. Kamar Tidur
Dewa yang dipuja: Kanda Pat (penunggu urip)
Makna: Pelindung pribadi yang menjaga kehidupan sehari-hari.
7. Tempat Tidur Bayi
Dewa yang dipuja: Sang Hyang Kumara
Makna: Penjaga bayi yang belum berusia tiga bulan.
Dalam tradisi Bali, pelangkiran harus ditempatkan dengan penuh kehati-hatian dan melalui proses penyucian (prayascita). Idealnya, pelangkiran berada di utama mandala, yaitu arah yang dianggap suci seperti sisi kaja atau kangin.
Tingginya pun harus melebihi kepala orang dewasa (siwadwara) dengan tambahan satu ruas jari (aguli), sebagai bentuk penghormatan terhadap yang disucikan.
Pelangkiran mencerminkan bagaimana nilai-nilai spiritual, adat, dan keseharian terjalin erat dalam budaya Bali. Ia bukan hanya tempat untuk berdoa, tetapi juga cerminan penghormatan terhadap keseimbangan alam semesta, leluhur, dan kekuatan ilahi yang diyakini selalu hadir dan menyertai umat dalam segala aktivitas. (Pande Paron/balipost)