I Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. (BP/kmb)

Oleh Kadek Suartaya

Matanya mendelik juling. Rambutnya jabrik bak ijuk. Mulutnya tebal lebar. Menyembul gondok menutupi lehernya.

Bertubuh pendek, berperut buncit. Suaranya keras nyerocos beruntun.
Lagaknya pongah beringas. Itulah Delem, salah satu figur dalam wayang kulit Bali.

Statusnya adalah parekan alias punakawan. Bersama adiknya, Sangut, ia diposisikan menjongos pada pihak antagonis. Bila dalam lakon yang bersumber dari wiracerita  Ramayana, Delem selalu gencar mengumbar sanjungan pada Rahwana.

Jika dalam lakon yang mengacu pada epos Mahabharata, celotehnya
meleleh dengan monyong berbusa, bersujud puji mengayun kelompok Korawa. Pembual dan penjilat adalah watak yang tak keliru dilekatkan
pada Delem.

Interpretasi karakter tokoh ini nyaris diperagakan sama oleh para Dalang dalam seni pertunjukan wayang kulit Bali. Tokoh-tokoh punakawan dalam wayang kulit Bali, selain Delem dan Sangut, ada pula Malen dan Merdah, yang menjadi parekan di pihak protagonis.

Tradisi seni pakeliran style pakeliran Sukawati menyebut Malen dan Merdah berpihak pada kelompok kanan, ruwang ngawan, sementara Delem dan Sangut sebagai parekan pihak kiri, ruang kebot. Malen-Merdah adalah ayah dan anak sedangkan Delem-Sangut adalah kakak adik.

Baca juga:  Siklus Kesempatan Berbisnis

Berbeda dengan wayang kulit Jawa, para punakawannya, seperti Semar bersama tiga anaknya, Bagong, Gareng dan Petruk, mengabdi kepada pembela kebenaran, terutama Pandawa. Keberadaan para punakawan dalam tradisi teater bayang-bayang yang lakon-lakonnya berorientasi dari dua karya sastra besar India tersebut, merupakan reka cipta asli kultural Jawa dan Bali, sebab, baik cerita Ramayana maupun Mahabharata tak mengenal adanya para punakawan, dengan karakter khas simboliknya masing-masing.

Dalam dramaturgi wayang kulit Bali, para punakawan bertugas menerjemahkan bahasa Kawi, Jawa Kuno, yang diantawacanakan
para tokoh utamanya. Tentu, tak hanya sebatas itu, para punakawan juga turut mengelaborasikan dinamika dramatik lakon. Lebih dari
itu, figur-figur berikonografi karikatural ini dijadikan penyalur selipan aneka banyolan.

Figur Delem dengan polah konyolnya banyak menarik perhatian, baik mengundang gelak tawa dengan lawakannya atau menjadi tumpuan tertawaan oleh karena berlagak jantan yang sejatinya pengecut. Para Dalang sering menggambarkan Delem bernyali ciut, lari tunggang langgang sembari terkencing-kencing menghindari kejaran musuh.

Identifikasi orang seperti itu, di tengah masyarkat Bali disebut Melem, bertingkah seperti Delem, yang, berkonotasi negatif. Secara metaforis, sosok Delem dalam layar wayang Bali, adalah menjelmaan ideologi kepalsuan manusia lintas zaman yang menggerogoti moral kolektif, termasuk moralitas bangsa kita. Ia adalah potret kejujuran yang dibengkokkan.

Baca juga:  Manfaat Ruang Terbuka Hijau

Dengan lidah yang lebih cepat dari pikirannya, Delem menjilat atasan,
membual tanpa batas, dan menabur tipu daya dalam tiap geraknya. Ia adalah pelayan setia kekuasaan busuk, yang selalu punya alasan untuk menutupi kesalahan majikannya, bahkan jika itu berarti mengkhianati sesama manusia.

Watak Delem bukanlah warisan kuno yang tergerus bersama keterpinggiran tradisi jagat wayang. Ia beranak-pinak dalam realitas sosial kita. Di ruang politik, di lembaga pendidikan, di media sosial,
bahkan di lingkup pergaulan sehari-hari–Delem kini berwajah modern.

Melongok dongeng hingga sejarah, dunia sudah lama mengenal spesies Delem ini. Delemisme, jika boleh diberi nama, adalah penyakit menahun. Ini bukan lagi soal individu, melainkan wabah budaya: budaya menjilat, budaya membual, budaya membengkokkan kebenaran agar pas dengan selera penguasa. Mereka berbicara tentang kemajuan, padahal merayakan kemunduran.

Mereka berkoar tentang reformasi, padahal mengokohkan korupsi. Mereka berpidato soal integritas, sambil menyembunyikan daftar panjang kebohongan di laci meja mereka. Di dunia politik, kita melihat
Delem-Delem kontemporer beraksi setiap hari.

Baca juga:  Pagar Laut, Konstitusi dan Pembelajaran Karakter

Politisi yang menyembah popularitas tanpa peduli substansi.
Penasihat yang membungkus kegagalan menjadi cerita sukses lewat konferensi pers. Pegawai publik yang melaporkan ‘semua sudah beres’ padahal lapangan penuh masalah.

Mereka itu ‘ikhlas’ menjadi epigon Delem, ‘Yes Man’: “Oke Bos”, asal majikan senang. Lebih ironis lagi, media sosial mempercepat ekspansi Delemisme ini. Kini, semua orang punya panggung untuk membual: memamerkan pencapaian kecil seolah-olah prestasi agung, mengarang narasi keberhasilan pribadi tanpa pernah mengakui bantuan orang lain.

Tentu saja, melawan arus Delemisme berarti siap dibenci, bahkan dikucilkan. Dunia tidak suka dengan mereka yang membawa cermin ke pesta topeng.

Tapi seperti kata Mahatma Gandhi, “Be the change you wish to see in the world.” Jangan berharap dunia bebas dari Delem jika kita sendiri
masih sibuk memoles citra ketimbang memperbaiki isi. Kendati demikian, kita tidak perlu mengutuk kegelapan dengan teriakan putus asa.

Cukup dengan menyalakan lilin kecil: kejujuran dalam percakapan kita, ketulusan dalam pekerjaan kita, keberanian dalam menolak dusta.

Penulis, pemerhati seni budaya, dosen ISI Bali

BAGIKAN