I Wayan Sukarsa. (BP/Istimewa)

Oleh Ir. I Wayan Sukarsa, M.M.A.

Yadnya merupakan pengidentifikasian Ida Sang Hyang Widi Wasa penguasa alam semesta, menimbulkan keyakinan dan kesadaran harus melaksanakannya karena yadnya adalah hukum kesemestaan (Rta) yang tidak dapat dihindari.

Dalam kehidupan umat Hindu di Bali yadnya (upakara) merupakan bentuk filosofis persembahan mencerminkan kehidupan alam dan hubungan manusia dengan sang pencipta. Kitab Artharwa Weda, menjelaskan bahwa yadnya merupakan pilar penyangga tegaknya kehidupan dunia dalam pelaksanaannya mengikuti Tattwa (filsafat), Susila (etika) dan Upacara (yadnya) yang terintegrasi dan berhubungan satu sama lain.

Bhagawadgita Adhyaya III Sloka 10, 14 menyebutkan bahwa Upakara (banten) pada dasarnya terdiri dari tiga bentuk, yaitu: berbentuk segitiga, bundar/bulat, dan segi empat,  dan bila dirangkai akan menyerupai wujud Siwa-Linggam.

Banten dalam Lontar “Yajnya Prakerti” memiliki tiga arti sebagai simbol ritual yang sangat sakral melambangkan  Pinaka Raganta twi, Pinaka Warna Rupaning Ida Bhatara dan Pinaka Arda Bhuwana. Upakara dalam Hindu memiliki fungsi religius, sosial ekonomi, sosial budaya, bukan sebatas upacara, dalam pengertian secara harfiah, diperluas lagi dalam bentuk simbolis filosofi dalam Kitab Bhagawad Gita seperti: Tapa Yadnya, Jnana Yadnya, Yoga Yadnya, Artha yadnya, Kriya yadnya, Angga yadnya dan Sahdu Sanggha. Pelaksanaan upacara yadnya hendaknya dimaknai secara mendalam dan diejawantahkan dalam perilaku kehidupan sehari-hari, menuju perubahan prilaku kearah yang lebih baik.

Baca juga:  Meningkatkan Kepekaan Humanisme dalam Ber-"Yadnya"

Umat Hindu adalah masyarakat religius menempatkan unsur kekuatan Tuhan sebagai muara konsekuensi tanggung jawab, dibuktikan melalui pelaksanaan upacara yadnya berupa rangkaian sesaji yang terdiri dari berbagai macam bahan, seperti bunga, buah, daun, beras, dan bahan lainnya sebagai wujud bhakti berupa banten/wali  artinya persembahan (Langgahan  saka 1259 dan prasasti Blanjong  saka 835). Beberapa makna penting dari upakara sebagai simbol penghormatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan para dewa, baik dalam bentuk Nitya Karma dan Naimitika Karma.

Dalam susastra suci Bhagawadgita, IX.26 menyebutkan bahwa “patram, puspham, phalam, toyam, yo me baktya prayachati, tad aham baktya upahrtam, asnami prayatat manah.” Artinya: Siapapun yang mempersembahkan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, dan segelas air akan aku terima sebagai persembahan hatimu yang tulus ikhlas. Derasnya arus globalisasi membuat masyarakat Bali berada dalam pergeseran begitu cepat baik dibidang sosial, ekonomi dan Budaya, dapat bernampak positif maupun negatif, suka atau tidak suka pergeseran ini harus dihadapi dan bukan dihindari dengan berbagai sharing sehingga dapat memilah yang dapat dipergunakan dan tidak sehingga mengubah tata cara pelaksanaan yadnya. Ada segelintir oknum menganggap bahwa agama Hindu di Bali tidak berdasarkan Weda, melainkan lontar-lontar yang diragukan kebenarannya yang menimbulkan persepsi berbeda dalam memahami tingkatan yadnya hanya berdasarkan kuantitas bukan kualitas sehingga terkesan hura-hura.

Baca juga:  Perayaan Galungan di Tengah Pandemi, Maknai Yadnya yang Beritual Bukan Festival

Hal tersebut merupakan pemikiran yang dangkal karena tidak melihat secara utuh esensi Hinduisme. Yadnya adalah suatu karya suci yang dilaksanakan dengan ikhlas karena getaran jiwa/rohani dalam kehidupan, berdasarkan dharma, salah satunya berdasarkan Karma marga. Veda mengamanatkan sebesar 1/21 (± 5%) dari penghasilan bersih  yang diperoleh dipergunakan untuk ber-yadnya. Yadnya yang dilaksanakan menurut karma marga, menentukan tingkatan yadnya yaitu Nista/sekaya, maksudnya ber-yadnya dengan memakai hak warisan dari leluhur, ini lebih baik dari pada tidak melaksanakan yadnya sama sekali, Madya/guna kaya maksudnya melalui usaha sendiri berkat pengetahuan yang dimiliki  menurut ajaran Panca Nreta dan  Utama/Makas kaya maksunya  melalui kerja keras atau hasil dari keringat yang benar-benar bersih dan tidak ada yang dirugikan maupun ditipu. Untuk menghindari pelaksanaan yadnya terkesan hura-hura (Tamasika dan Rajasika yadnya) pelaksanaan yadnya berdasarkan karma maga perlu dipahami secara mendalam untuk tidak meninggalkan kesan bahwa menganut ajaran Hindu menjadi beban dan memberatkan.

Baca juga:  Gotong Royong, Semangat Luhur Desa Adat Batukambing di Setiap Pelaksanaan Yadnya

Penulis, Analis Kebijakan pada Badan Riset dan Inovasi Daerah Kabupaten Badung

BAGIKAN