Ilustrasi. (BP/dok)

Konflik dan musibah yang belakangan menjadi sumber pemberitaan media massa mungkin ada baiknya kita simak lebih dalam. Informasi tentu tak boleh kita biarkan begitu saja lewat tanpa memahami makna dalam informasi itu.

Kini, di era digital dan terbangunnya kebebasan informasi tentu ada banyak hal yang juga perlu kita benahi. Adaptasi kehidupan dengan kondisi saat ini adalah hal yang perlu kita terapkan dan budayakan sebagai strategi hidup. Kita bergerak sesuai pergerakan zaman, maka kita tak selamanya hidup pada masa yang kita harapkan.

Sayangnya, ketika dunia bergerak dan tantangan kehidupan makin pelik, kita justru krisis panutan. Kita krisis keteladan dalam perilaku juga nyaris minim. Ada kecenderungan dunia bergerak sesuai aura panas yang terasa di bumi.

Dunia politik yang dianggap sebagai pilar demokrasi yang melahirkan aturan kehidupan justru sarat intrik. Dunia politik ternyata bergerak sesuai kepentingan personal dan kelompok, tak bergerak sesuai harapan.

Baca juga:  Polda Bali Bentangkan Kain Merah-Putih Terpanjang di Jatiluwih

Demokrasi yang semestinya mengantarkan kita ke arah kehidupan yang harmoni justru membuat kita terjebak sekat-sekat. Politik patut kita anggap belum melahirkan aura kehidupan yang harmoni. Elite politik pun belum menjadi figur yang mengayomi kehidupan.

Demikian pula dalam dunia hukum. Peradilan yang masih dirasakan berpihak masih terasa. Dunia justru tersandera kepentingan-kepentingan politis juga. Makanya ketika ada istilah yang benar justru dikorbankan, yang salah justru dipertahankan, kita jadi paham.

Ada banyak hal di negeri ini yang layak menjadi cerminan untuk merujuk hal di atas. Kebijakan yang salah justru membuat orang-orang yang mestinya tak dikorbankan menjadi tumbal.

Pergeseran perilaku dan ketokohan dalam kehidupan, bagi kita di Bali tentu bisa merujuk seni teater yang dulu sangat populer di Bali. Karakter kehidupan tergambar jelas oleh tokohnya. Sosok yang antagonis, sering kali merasakan nikmat di awal namun akhirnya juga menderita. Sebaliknya tokoh yang ideal, bijak dan arif, justru terus tersandung derita, meski akhirnya juga bahagia.

Baca juga:  Bupati Giri Prasta Hadiri "Munggah Sulinggih" di Desa Bakas

Yang jelas karakter kehidupan dan beban kehidupan selalu kita cermati dalam setiap pergelaran dramatari pada zamannya. Ketika dulu drama gong populer bahkan sangat populer di Bali, kita justru sudah punya karakter panutan yang jelas. Artinya, pentas seni tak sebatas memberikan kita hiburan tetapi juga sesuluh kehidupan.

Kini, kita tentu juga berharap ketika pancaroba terkondisikan, kita justru menjauh dari karakter rujukan. Ada banyak aktor kehidupan yang malah asyik dengan kehidupannya masing-masing. Bahkan, dunia digital telah menjadikan anak-anak mengambil tokoh panutan dalam permainan game online.

Jika ini tak terkontrol dan anak-anak dibiarkan bergerak sesuai seleranya, maka krisis panutan kehidupan akan makin sulit ditemukan. Anak-anak akan tumbuh sebagai pribadi yang fokus pada permainan, bukan pada etika, budaya dan tata krama kehidupan. Padahal, tata krama ke depan haruslah menjadi spirit.

Baca juga:  Tanggung Jawab Melayani Orangtua

Makanya, ketika Bali bergerak untuk memberdayakan desa adatnya dan merangsang bangkitnya sekaa–sekaa sebunan, ada harapan baru, kita akan kembali pada penokohan kehidupan. Anak-anak harus didekatkan pada karakter lehidupan yang berbudaya.  Dengan keberpihakan pada desa adat, dan desa adat mampu menjalankan peran dan fungsinya secara benar, kita berharap bisa bergerak dan terus bergerak di alam kedamaian.

Kita sangat yakin jika tokoh panutan yang bisa merefleksikan ruang kehidupan, kita akan menuju kedamaian. Artinya,  seni teater yang dimungkinkan bangkit lagi dengan pemberdayaan desa adat akan membuka ruang lahirnya tokoh panutan bagi kehidupan generasi muda Bali.

BAGIKAN