Ilustrasi. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Tim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang diperkuat oleh 11 Doktor di Bidang Meteorologi, Klimatologi dan Matematika, serta didukung oleh Guru Besar dan Doktor di bidang Mikrobiologi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM telah melakukan kajian berdasarkan analisis statistik, pemodelan matematis dan studi literatur terkait Penyebaran Pandemi COVID-19. Hasil kajian tersebut telah disampaikan kepada Presiden dan beberapa Kementerian terkait pada 26 Maret 2020 lalu.

Hasil penelitian tersebut, menunjukkan adanya indikasi pengaruh dua faktor ini, yaitu cuaca dan iklim dalam mendukung penyebaran wabah COVID-19. Sebagaimana disampaikan dalam penelitian Araujo dan Naimi (2020), Chen et. al. (2020),bLuo et. al. (2020), Poirier et. al (2020), Sajadi et.al (2020), Tyrrell et. al (2020), dan Wang et. al. (2020).

Menurut Kepala BMKG, Dwikorita Karnawai dalam siaran persnya, Sabtu (4/4), kajian oleh Tim Gabungan BMKG-UGM ini, menjelaskan bahwa analisis statistik dan hasil pemodelan matematis di beberapa penelitian di atas mengindikasikan cuaca dan iklim merupakan faktor pendukung untuk kasus wabah ini berkembang pada outbreak yang pertama di negara atau wilayah dengan lintang tinggi. Namun bukan faktor penentu jumlah kasus, terutama setelah outbreak gelombang yang kedua.

Baca juga:  Hingga 31 Mei, Ribuan Pelaku Perjalanan Manfaatkan Aplikasi Cek Diri

Meningkatnya kasus pada gelombang kedua saat ini di Indonesia, tampaknya lebih kuat dipengaruhi oleh pengaruh pergerakan atau mobilitas manusia dan interaksi sosial. Padahal, kondisi cuaca/iklim, serta kondisi geografi kepulauan di Indonesia, sebenarnya relatif lebih rendah risikonya untuk berkembangnya wabah COVID-19.

Namun fakta menunjukkan terjadinya lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia sejak awal Maret 2020. Indonesia yang juga terletak di sekitar garis khatulistiwa dengan suhu rata-rata berkisar antara 27- 30 derajat celcius dan kelembapan udara berkisar antara 70 – 95 persen, dari kajian literatur sebenarnya merupakan lingkungan yang cenderung tidak ideal untuk outbreak COVID-19.

Baca juga:  Makin Baik, Sinergi Penanganan COVID-19 di Bali

Namun demikian, fakta menunjukkan bahwa kasus Gelombang ke-2 COVID-19 telah menyebar di Indonesia sejak awal Maret 2020 yang lalu. Hal tersebut diduga akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial yang lebih kuat berpengaruh, daripada faktor cuaca dalam penyebaran wabah COVID-19 di Indonesia.

Dalam laporan Tim BMKG-UGM, direkomendasikan berdasarkan fakta dan kajian terhadap beberapa penelitian sebelumnya, bahwa apabila mobilitas penduduk dan interaksi sosial ini benar-benar dapat dibatasi, disertai dengan intervensi kesehatan masyarakat, faktor suhu dan kelembapan udara dapat menjadi faktor pendukung dalam memitigasi atau mengurangi risiko penyebaran wabah tersebut.

Selain itu perlu diwaspadai pula bahwa pada April sampai Mei ini, sebagian besar wilayah Indonesia memasuki pergantian musim, yang sering ditandai dengan merebaknya wabah Demam Berdarah. Oleh karena itu, masyarakat direkomendasikan untuk terus menjaga kesehatan dan meningkatkan imunitas tubuh.

Baca juga:  Konsisten Bawa Pelaku UMKM Naik Kelas, BRI Sabet Dua Penghargaan

Caranya dengan memanfaatkan kondisi cuaca untuk beraktivitas atau berolahraga pada jam yang tepat, terutama pada April hingga puncak musim kemarau pada Agustus nanti, yang diprediksi akan mencapai suhu rata-rata berkisar antara 28 derajat Celcius hingga 32 derajat Celcius dan kelembapan udara berkisar antara 60 sampai 80 persen.

Tentunya dengan lebih ketat menerapkan “Physical Distancing” dan pembatasan mobilitas orang ataupun dengan “Tinggal di Rumah”, disertai intervensi kesehatan masyarakat, sebagai upaya untuk memitigasi atau mengurangi penyebaran wabah COVID-19 secara lebih efektif. Karena, cuaca yang sebenarnya menguntungkan ini, tidak akan berarti optimal tanpa penerapan seluruh upaya tersebut dengan lebih maksimal dan efektif. (Winatha/balipost)

BAGIKAN