hibah
Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh I Wayan Suartana

Euforia akselerasi ekonomi desa begitu bergelora sejak pengesahan Undang- undang (UU) Desa. Hal terpenting dari UU Desa sesungguhnya bukan sekadar uang Rp1 miliar per desa, tetapi kewenangan yang lebih luas dan pengakuan kedaulatan ekonomi desa itu apakah sudah berjalan sesuai dengan tujuan hakikinya.

Dengan berbagai indikasi kasus (meskipun persentasenya kecil) yang melibatkan oknum perbekel dan atau aparat desa lainnya di Bali menjadi pertanyaan apakah ada yang salah dengan tata kelolanya ataukah rasionalisasi keperilakuan yang akut?

 

Desa mengalami metamorfosis menjadi ajang pesta demokrasi lokal dan proses politik dalam pengambilan keputusan. Hal menarik di suatu desa pemilihan perbekel diisi dengan debat publik. Tidak ada yang salah dan merupakan edukasi yang baik supaya tidak membeli kucing dalam karung, tetapi pertanyaan mengemuka apakah itu sinyal menguntungkan bagi demokrasi sementara publik belum tentu faham esensi debat yang dimaksud.

Jabatan perbekel menjadi incaran banyak pihak, tetapi jangan sampai seperti pepatah ‘’ada gula ada semut’’, yang kemarin heboh dengan kasus desa fiktif di belahan Indonesia lainnya. Ranah tata kelola merupakan kombinasi antara proses politik pimpinan desa, elite desa beserta perangkat lainnya dengan partisipasi masyarakat di kutub berbeda.

Budaya gotong royong dan guyub adalah tradisi media pemampu kebersamaan. UU Desa menjadi bentuk kesadaran baru, bahwa jauh sebelum Indonesia merdeka, desa sudah ada dengan segala norma, adat istiadat serta kekayaan yang ada di dalamnya. Pengukuhan kembali desa sebagai satuan masyarakat yang berhak dan berdaulat mengatur tata kehidupan dan perekonomian desa sesuai potensi dan kearifan lokal patut didukung dan dijaga bersama.

Di Bali terlihat khas dan unik karena desa ada dua dan keduanya mengalami institusionalisasi Purusha Pradana dan sampai saat ini tidak menimbulkan masalah, harmoni dengan tugas masing-masing. Keunikan ini seharusnya menjadi modal sosial yang bisa dikapitalisasi untuk legacy sepanjang masa. BUMDes menjadi pilar kegiatan ekonomi desa dinas yang memiliki fungsi sebagai lembaga sosial dan komersial, sebaliknya LPD menjadi kebanggaan desa adat memampukan ekonomi krama secara berkelanjutan.

Baca juga:  30 Ribu Inovasi Pemberdayaan Ekonomi Desa Dipamerkan di GWK

Kolaborasi keduanya bukan sesuatu yang mustahil. Amanah penggunaan dana desa yaitu infrastruktur dasar dan pemberdayaan sebetulnya memberikan fleksibilitas membangun desa berdasarkan atas potensi yang dimiliki. Di sini kejujuran dan kemampuan berinovasi diuji, tidak sekadar bermotifkan penyerapan anggaran lalu serampangan membuat rencana atau proyek yang tidak realistik.

Mitigasi Area Kritis

Keseriusan pemerintah memajukan desa terlihat dari bantuan desa yang terus meningkat dari tahun ke tahun serta diikuti dengan sistem tata kelola yang cocok sesuai dengan regulasi. Pemerintah desa wajib mengelola dana yang ada dengan akuntabel dan transparan agar tidak terjadi penyalahgunaan. Dana desa yang relatif besar mesti linear dengan kompetensi aparatur desa.

Berbagai penelitian menyebutkan bahwa permasalahan tentang pengelolaan keuangan desa bersumber dari rendahnya SDM aparatur desa khususnya dalam pengetahuan tata kelola dan pelaporan keuangan, sehingga berpotensi rawan korupsi. Dalam pengelolaan keuangan desa terdapat area kritis perhatian serius, salah satunya pengadaan barang dan jasa, karena zona ini ada ruang dan celah terjadinya berbagai bentuk kecurangan yang disebabkan juga karena ada skema insentif diniatkan.

Teorinya, kesempatan akan menjadi peluang emas orang untuk berbuat yang tidak simetris dengan aturan. Atmosfer yang tidak bagus ini akan menjadi kekuatan yang destruktif bila oknum melakukan rasionalisasi bahwa hal seperti ini sudah biasa terjadi. Pola pembenaran menjadi alasan atau benteng perilaku. Perilaku disfungsional menjadi anomali yang memiliki pola tertentu dan terkadang tidak bisa dimitigasi oleh kibaran bendera bahaya saja.

Kecurangan berdimensi dari sederhana sampai canggih, misalnya robohnya bangunan akibat konstruksi yang salah berbiaya murah dan kemaruk keuntungan serta terjadinya disparitas harga perkiraan sendiri (HPS) barang sejenis yang tidak wajar antara satu toko dengan toko lainnya. Tindakan kecurangan tidak terlepas dari berbagai aspek yaitu kurang kompetennya tim, rendahnya integritas dan indepedensi panitia pengadaan itu sendiri.

Baca juga:  Canggu, Pariwisata Inklusif Berkelanjutan

Memitigasi terjadinya pelanggaran tersebut, maka panitia pengadaan dituntut untuk memiliki empat komponen: profesionalitas, integritas, independensi dan kompensasi moneter sebagai penyeimbang risiko yang harus ditanggung. Komponen ini menjadi proteksi diri menghadapi lingkungan yang sulit ditebak.

Kasus kecurangan pengadaan barang dan jasa pernah terjadi di salah satu desa di Bali. Terungkapnya kasus ini berawal dari adanya laporan masyarakat. Ada oknum perbekel menghadapi masalah hukum karena indikasi korupsi APBDes. Kasus-kasus lain setali tiga uang juga muncul dengan sebagian besar modus terduga membuat rekening untuk menampung dana

APBDes, namun rekening tersebut dibawa, dikelola dan disimpannya sendiri. Selain itu, juga diduga melakukan penarikan dana berulang kali untuk kepentingan pribadinya. Penggunaan dana APBDes untuk kepentingan pribadi ini selanjutnya bisa jadi dicatatkan sebagai sisa lebih perhitungan anggaran (Silpa) fiktif. Mereka bekerja tidak hati-hati dari sisi prosedur maupun pengisian satuan nilai dan ada unsur nekatnya padahal jejak akuntansi mudah ditelusuri.

Berbasis Risiko dan Digital

Konsekuensi logis desa menjadi entitas baru dengan siklus anggaran yang baku sama seperti di pemerintah daerah, mengharuskan perangkat pimpinan di desa tidak hanya sebagai pemimpin tetapi juga administrator yang baik. Area abu-abu sebisa mungkin dikurangi dengan ketidakpastian berubah menjadi kepastian paling tidak bisa diprediksi. Dana desa bukan

merupakan teror bagi pihak-pihak yang mengeksekusi, bukan juga colek pamor seluruh desa atau gebyah uyah hanya karena kasus di satu desa lalu semua dicurigai seperti itu. Banyak desa yang bisa dijadikan rujukan dalam tata kelolanya. Banyak perbekel menjalankan tugasnya didorong

oleh ngayah yang tulus dan penuh rasa taat. Maka itu, diksi pembinaan dan pencegahan menjadi kebutuhan paling prioritas. Bantulah mereka karena banyak yang belum faham. Mereka butuh solusi, bukan ditakut-takuti.

Baca juga:  Solidaritas Kemanusiaan

Proses perencanaan sebagai bagian yang harus diawasi khususnya menyangkut pendapatan juga memungkinkan terjadinya senjangan anggaran, suatu kondisi di mana si pembuat anggaran membuat penganggaran yang tidak sesuai dengan potensi yang dimiliki atau meninggikan belanja dari harga wajarnya. Penganggaran berbasis digital (e-budgeting) barangkali bisa menjadi solusi untuk mencegah terjadinya kesenjangan anggaran khususnya desa-desa yang tergolong mandiri dalam pengertian mampu berinvestasi untuk kemajuan.

Sebuah keniscayaan dalam zaman milenial saat ini. Sistem informasi berbasis digital membutuhkan operator yang berintegritas, sebab tetap saja berlaku dalil ‘’garbage in garbage out’’ — sampah yang dimasukkan begitu juga sampah yang keluar. Proses bisnis dikenali secara detail sehingga sistem informasi menangkap seluruh konstruksi peningkatan kapasitas pembangunan desa.

Pengawasan berbasis risiko berpeduli terhadap risiko bawaan dan risiko karena kontrol lemah, yang dimulai dari proses penilaian dan profil risiko, sehingga dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan lebih difokuskan pada area-area sensitif. Kegiatan pengawasan akan diarahkan ke area yang dianggap berisiko tinggi, kemudian ke area risiko menengah dan seterusnya ke area risiko yang lebih rendah.  Pengelolaan dana desa dekat dengan risiko operasional yang terkait dinamika perilaku personal dan sasaran program maupun lebih spesifik risiko kecurangan oleh oknum yang memanfaatkan kesempatan karena adanya peluang melakukan korupsi.

Pengawasan berbasis risiko khususnya risiko operasional menjadi alat pencegahan dan deteksi dini kebocoran dalam penggunaan anggaran. Otoritas kepengawasan dana desa harus mempunyai desain dan strategi agar aparat desa tidak merasa ketakutan dan fobia dengan kata audit, sebaliknya audit harus diartikulasikan sebagai umpan balik untuk perbaikan kinerja.

Aparat desa menjalankan proses ini dengan nyaman karena sistem telah memasukkan seluruh proses bisnis entitas desa serta didukung oleh lingkungan pengendalian perilaku etis dan panutan dalam menjalankan sistem tata laksana maupun tata kelola dana desa.

Penulis, Guru Besar FEB Unud

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *