Ilustrasi limbah medis. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Layanan kesehatan baik Puskesmas maupun rumah sakit menghasilkan limbah setiap harinya baik medis maupun non medis. Saat ini yang menjadi perhatian khusus adalah limbah B3 medis yang memerlukan pengolahan khusus dan tidak sembarangan.

Untuk Bali sendiri dalam sehari bisa menghasilkan tiga ton limbah B3 medis setiap harinya. Disisi lain, Bali belum memiliki tempat pengolahan limbah B3 medis sehingga saat ini pihak layanan kesehatan di Bali masih melakukan kerjasama dengan pihak ke tiga.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dr. Ketut Suarjaya, beberapa waktu lalu mengatakan, dengan semakin bertambahnya jumlah faskes ke depan tentu akan menambah jumlah limbah B3 medis yang dihasilkan. Limbah B3 medis sendiri meliputi limbah infeksius seperti sarung tangan disposable, masker disposable, kasa pembalut bekas darah, kapas bekas darah/cairan hingga selang transfusi darah, limbah benda tajam seperti jarum suntik dan jarum bides, limbah patologis seperti darah dan cairan tubuh hingga jaringan atau organ sisa operasi dan limbah farmasi seperti botol obat, ampul obat dan kemasan sisa obat.

Baca juga:  Cegah Kerumunan Penerima BLT, Petugas Gabungan Jaga Bank

Jika tidak dikelola dengan baik sejak dini, maka resiko kesehatan atas manajemen limbah B3 medis yang kurang akan meningkat. ”Banyak permasalahan kesehatan yang akan timbul nantinya. Contohnya bisa terjadi infeksi virus hepatitis C akibat tertusuk benda tajam medis bekas menangani pasien hepatitis,” ujarnya.

Selain risiko kesehatan, jika pengolahan limbah B3 medis tidak dilakukan dengan manajemen yang benar maka juga akan menimbulkan permasalahan lingkungan.

Baca juga:  Anggaran Limbah Medis Covid-19 Mencapai Ratusan Juta di RSUD Sanjiwani

Untuk mencegah ini terjadi kata Suarjaya pihaknya mendorong setiap faskes kesehatan di Bali untuk memiliki izin dalam pengelolaan limbah yang memenuhi syarat. Dalam pengelolaan limbah B3 medis sendiri diakui Suarjaya saat ini belum ada faskes di Bali yang bisa mengelolanya secara mandiri. ”Meski sudah ada yang memiliki incenerator tetapi untuk mendapatkan izin operasional incenerator untuk mengelola limbah B3 medis ini cukup sulit,” ujarnya.

Salah satu penyebab sulitnya mendapatkan ijin operasional incenerator adalah pemenuhan lokasi yang memenuhi syarat. ”Syarat lokasinya untuk penempatan incenerator ini sulit dipenuhi,” tutur Suarjaya.

Baca juga:  Dikupas, Jejak Sejarah Wabah di Bali Lewat "Pablibagan" Virtual

Sesuai dengan syarat, lokasi incenerator tidak boleh dekat dengan permukiman penduduk. Di sisi lain kebanyakan faskes, khususnya rumah sakit di Bali, lokasinya dekat dengan kawasan permukiman.

Untuk bisa mengatasi ini lanjut Suarjaya salah satu cara adalah melakukan kerjasama dengan pihak ke tiga yang memiliki izin layanan pengolahan limbah B3 sesuai dengan aturan yang ditentukan pemerintah. ”Untuk saat ini semua faskes yang ada di Bali sudah melakukan kerjasama dengan pihak ke tiga,” ujarnya.

Ke depan tentu pengolahan limbah B3 di faskes diharapkan akan bisa dilakukan secara mandiri di Bali. (Wira Sanjiwani/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *