Ilustrasi pelajar SMP saat pulang sekolah. (BP/dok)

Posisi minat siswa membaca buku kini sudah mulai digeser oleh keasyikan anak-anak memanfaatkan dunia media sosial. Bahkan kini, dunia pertelevisian pun mulai berangsur ditinggalkan oleh kaum milenial Bali.

Mau bukti? Banyak anak remaja sekarang tak mau kamarnya diisi dengan televisi. Alasannya sudah tak diperlukan. Semua dia dapatkan di medsos. Cukup memegang gadget canggih, semua informasi dan keperluan sudah diperoleh anak. Makanya jangan heran dalam satu keluarga dengan tiga anak sangat sulit mencari hari libur keluarga bersama karena setiap anak memiliki agenda tersendiri.

Belum lagi soal minat membaca mereka. Tak dibantahkan minat membaca para remaja dan siswa kini makin menurun. Faktor internal dan eksternal tetap menjadi penyebabnya. Apalagi di tengah budaya narsis, semua bisa diperoleh lewat internet dan online. Ditambah lagi sikap anak-anak sekarang yang serbamanja, mau instan, bukan berjuang mencari di berbagai sumber belajar.

Baca juga:  Pemerataan Fasilitas Sebelum Zonasi

Kita bisa lihat saja aktivitas dan cara belajar pelajar sekarang. Mereka tak mau membaca buku terlebih dahulu untuk memperoleh pengalaman baru atau materi baru, namun sudah loncat menjawab pertanyaan di bagian akhir materi. Termasuk keperluan lain yang bisa menjerumuskan anak-anak.

Makanya para tetua Bali menyebutkan memperlakukan anak kecil adalah melayani sebagai pengabdi dewa, saat menjadi remaja jadikan dia sebagai teman dan saat berkeluarga jadikan mereka penasihat. Ini artinya, kita sebagai orangtua menyesuaikan perkembangan anak, bukan memaksa mereka berperilaku sesuai dengan keinginan orangtua.  Orangtua adalah orang yang sudah pernah menjalani masa anak-anak, sementara mereka anak-anak belum pernah menikmati masa tua.

Baca juga:  Membangun Kesamaan Persepsi Kelola Pariwisata

Ketika anak-anak kita hidup pada era serbadigital dengan kemajuan medsosnya, sikap kita mestinya berdamai dengan kemajuan medsos. Bukan zamannya lagi, kita menuntut mereka duduk belajar di meja belajar selama 2-3 jam sehari, kemudian menghafal dan mengujikannya. Mereka cukup membuka Hp dengan materi yang sama di tempat tidur.

Bagi mereka, itu lebih nyaman dan bisa dipahami lebih cepat, kita hendaknya mengikuti irama itu. Jadi, secara psikologis, orangtua perlu berdamai dengan kemajuan zaman jika tak mau stres sendiri. Orang Bali mengatakan mendidik remaja ibarat memegang merpati. Tidak boleh terlalu keras agar tak sampai mati, namun tak boleh terlalu longgar agar tak lepas. Jadi, pintar-pintarlah mengatur napas.

Baca juga:  Pembangunan Semesta Berencana Berkelanjutan

Namun, teori ini tetap ada kelemahannya. Mereka jika tak diawasi akan menjadi insan yang egoistis dan pasif beraktivktas. Minat baca mereka mesti tetap dipelihara, menfaatkan medsos untuk kepentingan positif dan semakin menjadi insan yang berkarakter.

Kemajuan teknologi dan medsos bisa dilakukan, namun jangan tinggalkan buku sebagai sumber belajar utama. Jadikan mereka untuk berlatih dan giat membaca.

Membaca apa saja adalah penting untuk menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri. Jangan juga lupa ‘’memerangi’’ sifat malas anak milenial. Orangtua tetap membudayakan anak kegiatan membantu orangtua setiap hari, sembahyang dan menghormati leluhur dan keluarga.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *