Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh Dr. I Nengah Suarmanayasa, S.E., M.Si.

Tantangan Pembangunan meliputi tiga hal yakni pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan. Ketiga hal tersebut telah menjadi masalah yang kompleks dan kronis baik di tingkat nasional maupun regional, sehingga penanggulangannya memerlukan strategi yang tepat dan berkelanjutan. Program pemerintah yang dilaksanakan selama ini telah memberikan perhatian besar terhadap masalah tersebut. Meskipun demikian, masalah tersebut sampai saat ini masih menjadi masalah yang berkepanjangan.

Provinsi Bali yang dikenal sebagai daerah pariwisata, sampai saat ini juga belum bisa luput dari permasalahan kemiskinan.  Menurut data BPS Bali, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) pada bulan Maret 2019 di Bali mencapai 163,85 ribu jiwa.

Angka ini cukup menggembirakan dikarenakan mengalami penurunan dari periode sebelumnya September 2018 sebesar 168,34 ribu jiwa. Selama periode September 2018 – Maret 2019, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan dan perdesaan mengalami penurunan.

Sebenarnya, potret kemiskinan di Bali semakin hari kian membaik. Artinya, jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan. Pencapaian ini tidak terlepas dari keberhasilan program kepala daerah baik di tingkat kabupaten, provinsi dan program nawa cita pemerintah pusat yakni, membangun Indonesia dari desa.

Dana desa yang mengalir deras membawa harapan baru bagi masyarakat perdesaan. Harapannya tentu meningkatnya kualitas hidup dan kesejahteraan bersama. Tapi, jika dilihat lebih dalam lagi terkait angka kemiskinan di Bali, ada yang patut dicermati dengan saksama. Topik ini pernah menjadi headline news di salah satu surat kabar terbesar di Pulau Bali.

Baca juga:  Anak Dua Tahun Terperosok ke Sumur

Surat kabar lokal pernah memuat berita tentang “kontribusi” sarjana sebagai penyumbang angka kemiskinan di Bali. Berita tersebut menyebutkan bahwa 4,03 persen orang miskin adalah lulusan diploma dan 4,58 persen adalah sarjana.

Angka ini memberi makna bahwa sarjana atau orang yang pernah duduk di bangku kuliah masih belum bisa melepaskan diri dari “penjara’’ kemiskinan. Ini adalah fakta, susah diterima akal sehat tetapi kenyataannya seperti itu. Pendidikan tinggi seyogianya sebagai pencetak intelektual dan pencetak lapangan kerja malah jatuh ke lubang kemiskinan.

Haruskah kita pesimis melihat kenyataan ini? Padahal, Bapak Presiden Joko Widodo selalu mengajak masyarakat untuk optimis memandang hari esok. Ironis, ya. Begitulah kenyataan yang terjadi di sekitar kita.

Gengsi

Gengsi masih menjadi penyebab utama tingginya pengangguran (sarjana zaman now). Lulusan sarjana rela menganggur tinimbang mengambil pekerjaan yang dianggap kurang bergengsi. Lulusan sarjana merasa lebih bangga menjadi pegawai kontrak di pemda daripada menjadi karyawan swasta atau buka usaha sendiri.

Padahal, jika dilihat dari segi income maka income pegawai kontrak jauh lebih kecil. Nilai yang dianut dan berkembang di masyarakat adalah ASN merupakan profesi bergengsi yang membuat status sosial melambung tinggi. Ini pula yang diduga menjadi alasan kuat memilih profesi ASN.

Baca juga:  Jawab Tantangan Zaman, Jokowi Ajak Generasi Muda Kedepankan Idealisme

Memilih pekerjaan yang sesuai dengan jurusan saat kuliah tentu sangat ideal. Tetapi, terkadang situasi dan kondisi acap kali memaksa orang untuk mengambil atau memilih pekerjaan di luar bidang yang ditekuni sebelumnya. Zaman now, kemampuan adaptasi terhadap perubahanlah yang bisa mengantarkan seseorang untuk meraih pencapaian yang optimal. Let’s change.

Melihat kenyataan bahwa sarjana juga sebagai penyumbang angka kemiskinan, maka harus ada yang bertanggung jawab. Paling tidak ada dua pihak yang harus menjawab permasalahan ini. Pertama, kampus tempat seorang sarjana berproses hingga meraih gelar kesarjanaan, dan kedua, yang paling penting adalah si sarjana itu sendiri.

Pihak kampus tentu sudah menyediakan sarana dan prasarana penunjang seperti tempat kuliah yang nyaman, pakai AC, kurikulum yang terbaru, peralatan wifi, dosen yang profesional bahkan banyak kampus yang mengklaim sudah menerapkan standar internasional dalam proses belajar mengajarnya. Sebenarnya, para sarjana paling bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

Sudah lama terpatri bahwa pendidikan formal adalah masalah legitimasi, sedangkan masalah isi dan kesiapan diri menghadapi persaingan global adalah urusan masing-masing individu. Sarjana yang sudah bekerja dan yang belum bekerja bisa jadi memberikan pendapat yang berbeda. Bagi yang sudah bekerja apalagi yang sudah bekerja mapan, maka akan berterima kasih atas proses yang pernah dialami di kampus sehingga mengantarkan ke posisi yang sekarang. Jawaban dan tanggapan yang berbeda tentu akan keluar dari mulut sarjana yang masih menganggur. Apalagi sarjana yang menganggur karena belum pernah diterima bekerja di mana pun. Sarjana tipe ini bisa jadi akan merasa tidak mendapatkan apa-apa selama proses perkuliahan. Menyalahkan dan protes pada sistem pendidikan adalah teman karibnya saat ini.

Baca juga:  STIMI Handayani Mengundang Pemuda-Pemudi Berprestasi

Daripada terus-menerus sibuk debat kusir atas siapa yang paling bertanggung jawab, akan lebih elok jika para pihak yang terkait saling introspeksi. Pihak kampus tentu sudah melakukan ini, bukan karena semata-mata ingin membela diri tapi karena sudah terstandar atau harus tunduk dengan aturan kemenristekdikti, salah satunya tentang akreditasi kampus. Untuk para calon sarjana dan sarjana, penting untuk merenung dan membekali diri dengan keahlian tambahan. Selain knowledge yang mumpuni yang sudah didapat di kampus, penting memerhatikan attitude serta memperdalam communication skill dan akan lebih baik lagi jika mampu menguasai life skill. Dengan tambahan keahlian serta sikap optimis seperti yang dianjurkan Presiden, maka hari esok dipastikan akan lebih cerah dibandingkan hari ini.

Penulis, Korprodi S1 Manajemen, FE Undiksha-Singaraja

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *