Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh GPB Suka Arjawa

Usia Indonesia sekarang sudah 74 tahun. Kalau dibandingkan dengan Majapahit dan Sriwijaya, sangatlah jauh. Indonesia masih terlalu muda jika dibandingkan dengan dua kerajaan yang fenomenal tersebut. Sudah pasti faktor yang paling menonjol terhadap keberhasilan itu ada dua, yaitu persatuan dan kekuatan. Indonesia mempunyai tantangan besar ke depan, jika tidak bisa belajar dari dua kerajaan besar di nusantara tersebut.

Ada dua fenomena yang harus dilihat dalam perkembangan nusantara menjadi Indonesia. Seperti yang disebutkan di atas, yaitu persatuan dan kekuatan. Sejarah Indonesia awal abad ke-20 memperlihatkan sebuah kecemerlangan bagi Indonesia, menyatunya antara persatuan dan kekuatan tersebut di seluruh segmen masyarakat. Tidak hanya bagi masyarakat bawah tetapi juga menyatu dalam diri elite dan kemudian itulah yang menjadi kekuatan.

Persatuan yang terlihat pada masa awal abad ke-20 itu komplet, menenggelamkan kesukuan dan realitas kompleks agama di nusantara. Bukti bahwa Yong Java kemudian meluas menjadi Yong Maluku, Yong Sumatera, Yong Sulawesi dan sebagainya membuktikan bahwa ada kesatuan ide. Kesatuan ide untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Kesatuan ide seperti ini menjadi semakin menarik karena ide tersebut dapat membungkus perbedaan-perbedaan yang ada.  Munculnya partai komunis (PKI tahun 1920-an), partai yang sifatnya nasionalis (PNI tahun 1927), lalu ormas sosial keagamaan seperti Muhammadiyah (1912) dan Nahdlatul Ulama (1926), sesungguhnya merupakan kesatuan ide untuk membentuk Indonesia merdeka, meskipun mereka mempunyai perbedaan pandangan pada bidang nilai. Tetapi ada nilai utama yang harus dinomorsatukan, yaitu kemerdekaan Indonesia.

Mungkin sebuah pembelaan dapat diungkapkan di sana, bahwa ada dua hal yang membuat persatuan dalam perbedaan tersebut dapat diwujudkan pada waktu itu, yaitu keinginan untuk mencapai kemerdekaan secepatnya dan pengalaman pahit sebagai bangsa yang terjajah. Namun, pada era itu pun masyarakat telah mampu berpikir rasional dengan membandingkan pengalaman-pengalaman masa lalu, yaitu tercerai berainya Indonesia karena kerajaan saling bersaing dan saling melenyapkan, termasuk pasca-Majapahit.

Baca juga:  Melindungi Anak-anak Malang

Rasionalitas yang muncul adalah bahwa Indonesia itu harus merdeka tanpa memandang sekat agama, suku, dan bahasa daerah. Itulah yang dipakai oleh masyarakat Indonesia untuk meraih kemerdekaannya dan berhasil tahun 1945. Nusantara itu merdeka karena telah berhasil memandang dirinya sebagai sebuah bangsa Indonesia, sebuah bangsa yang  meniadakan berbagai sekat kultural.

Bukti dari keberhasilan ini, bukan sekadar “peleburan”  bahasa, budaya, agama, dan nilai, tetapi juga bentuk fisik manusia. Indonesia di sebelah barat garis Wallace mempunyai bentuk fisik yang berbeda dengan di wilayah timur garis Wallace yang cirinya rambut keriting. Maka, apabila manusia sudah berhasil menghilangkan perbedaan fisik seperti ini dan menyatukannya ke dalam satu saudara wilayah, itulah yang dapat dikatakan sebagai sebuah bangsa negara (bukan negara bangsa).

Bangsa negara inilah senjata utama Indonesia itu lahir. Dan itulah yang dibuat secara cerdas oleh anak-anak muda Indonesia tahun 1928, yaitu Bangsa Indonesia, tidak ada lain, tidak ada sekat kecuali Indonesia satu, kriting maupun lurus, Hindu maupun Nasrani.

Kalau mau dicari kelebihannya generasi di masa itu (bukan sekadar generasi muda), adalah kemampuannya memandang diri sebagai bangsa yang satu, yaitu bangsa Indonesia. Taman Makam Pahlawan boleh dikatakan sebagai salah satu bukti tentang kesatuan dan kebangsaan itu karena terdiri dari berbagai ragam suku.

Bagaimana dengan kekuatan? Ada banyak definisi kekuatan. Pada bidang politik, salah satunya adalah kemampuan dan keberanian untuk meyakinkan diri dalam pencapaian tujuan. Dan kemampuan itu juga banyak ragamnya. Kejelian merupakan kemampuan yang tidak semua orang mampu memiliki dan mempraktikkannya.

Baca juga:  Indonesia Pertegas Dukungan Pada Palestina

Maka, kemerdekaan Indonesia adalah sebuah kekuatan luar biasa bagi Indonesia. Pada tahun 1945 jelas kekuatan militer Indonesia tidaklah sebanding dengan kekuatan militer Belanda, juga Inggris dan sekutunya. Apalagi Jepang. Tetapi siapa yang berani melawan kejelian dan keberanian bangsa Indonesia untuk merdeka.

Sejarahnya menyebut demikian: jika Jepang telah kalah di Asia Pasifik, apakah harus Indonesia jatuh lagi ke tangan sekutu? Itulah pertanyaan dasar yang dijawab oleh bangsa (sekali lagi bangsa) Indonesia dengan jawaban melalui proklamasi kemerdekaan  tanggal 17 Agustus 1945. Ini adalah sebuah keberanian yang jeli. Indonesia tidak sudi jatuh lagi ke tangan penjajah karena penjajah yang satunya sudah kalah, karena penjajah pasti akan membuat menderita.

Sebagai pihak yang ikut berperang, Sekutu bisa jadi masih sibuk berbenah diri untuk memperbaiki segala kehancurannya di Eropa, termasuk Pearl Harbour. Kejelian memperhitungkan inilah yang menjadi kekuatan Indonesia. Kekuatan dan persatuan itulah yang kemudian bahu-membahu mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tetapi harap diingat, kejelian untuk mempertahankan kemerdekaan itu masih tetap berlanjut dalam meja perundingan, baik di Konferensi Meja Bundar, Roem-Royen, Linggarjati, maupun Renville.

Diplomasi-diplomasi inilah yang kemudian mengantar Indonesia memantapkan kemerdekaannya dengan penyerahan kedaulatan pada akhir tahun 1949. Diplomasi adalah keberanian dan kekuatan untuk bersilat lidah. Keberanian untuk menghadapi kekuatan besar di dalam perundingan, keberanian dan kekuatan untuk sedikit mengalah untuk sementara waktu tetapi kemudian memetik hasil dengan kembalinya Irian Barat (Papua sekarang) ke pangkuan ibu pertiwi.

Baca juga:  Gugatan ke WTO Tak Hentikan Larangan Ekspor Nikel Mentah Indonesia

Apa yang kemudian terjadi sekarang? Persatuan akumulatif seperti yang dijelaskan di depan, serta kekuatan itu jauh menurun. Pertama disebabkan oleh gamangnya kita dalam mendefinisikan masa depan demokrasi Indonesia. Cikalnya ini adalah reformasi tahun 1998. Harus diakui secara jujur ini.

Tidak berani menerima kenyataan ini secara jujur, maka Indonesia dan masyarakatnya tidak akan pernah tahu, bagaimana demokrasi yang cocok di Indonesia itu. Ketika reformasi terjadi tahun 1998, Indonesia terlalu gegabah memilih demokrasi yang cenderung liberal.

Bayangkan, dari demokrasi semu yang lebih cocok disebut totaliter, tiba-tiba melompat menuju demokrasi liberal. Ini mirip seperti bendungan yang tiba-tiba saja bocor yang airnya meluber ke mana-mana secara drastis. Atau seperti orang miskin mendadak punya banyak duit, yang tidak tahu memanfaatkan uangnya entah ke mana, yang kemudian kembali miskin. Bahwa sampai hari ini, Indonesia masih membicarakan amandemen konstitusi dan ada wacana kembali ke MPR, merupakan bukti dari itu.

Apa lagi? Bangsa Indonesia seperti yang telah dijelaskan di atas telah diobok-obok. Tiba-tiba saja soal pakaian menjadi pembeda Indonesia, ada perlakuan khusus bagi yang berbasis keagamaan, kemudian suku-suku juga mendapatkan posisi tertentu entah di kalangan pemerintah atau swasta.

Bangsa Indonesia yang sesungguhnya satu pada masa lalu itu, kini kembali ke zaman sebelum Majapahit yang terpisah dan saling bersaing satu sama lain. Itulah yang menjadi pekerjaan rumah ke depan. Jika ingin bersaing dengan Majapahit dan Sriwijaya, haruslah mempelajari kegagalan kedua maestro nusantara tersebut. Selamat Ulang ke-74 Republik Indonesia!

Penulis, staf pengajar Sosiologi FISIP Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *