Warga Desa Pakraman Yeh Poh, Manggis, Karangasem saat mengarak pajegan dan sumbu serangkaian ritual aci ngusaba agung. (BP/dok)

Oleh I Komang Warsa

Visi pembangunan daerah Bali “Nangun Sat Kerthi Loka Bali melalui pola pembangunan semesta berencana menuju Bali Era Baru”. Kalimat yang mengandung taksu makna mendalam dalam membangun Bali yang maju dan beradab.

Membangun Bali dalam jalinan kesucian dan keharmonisan alam Bali beserta isinya dengan tidak mengorbankan atau menghancurkan adat dan budaya Bali bagian dari visi pemerintah daerah. Era baru dalam menata Bali suatu harapan ke depan tetapi tradisi adat dan budaya tetap ajeg (lestari).

Berbagai upaya sudah dilakukan oleh pemerintah Daerah Bali untuk mengajegkan (melestarikan)  adat dan budaya Bali. Langkah dan upaya itu di antaranya pemberlakuan penggunaan pakaian adat Bali setiap Purnama-Tilem dan setiap Kamis menggunakan bahasa Bali adalah sebagai wujud kepedulian dari upaya pemerintah daerah Provinsi Bali.

Pergub No. 79 tahun 2018 mengatur tentang penggunaan berbahasa Bali sebagai upaya Bali lestari dan Bali ajeg tentu harus mendapat dukungan dari semua elemen masyarakat Bali. Pakaian juga mencerminkan peradaban adat sedangkan bahasa merupakan cerminan peradaban budaya. Hal yang paling prestesius kepedulian Pemerintah Daerah Bali adalah terbitnya Perda 4 tahun 2019 tentang Desa Adat Bali sebagai bentuk legalitas keberadaan adat-adat di Bali yang betul-betul harus diajegkan.

Dukungan mengajegkan Bali sebagai bentuk isi ulang kebalian orang Bali disambut antusias oleh para pimpinan adat (bendesa) dari masing-masing desa adat. Program ini, ibarat gayung bersambut oleh kelompok media Bali Post kepedulian tentang keberadaan adat dan budaya di Bali. Program pemilihan Siswa Ajeg Bali (SAB) dan Guru Ajeg Bali (GAB) tahun 2019 adalah satu bentuk komitmen kelompok media Bali post peduli dengan adat dan budaya Bali.

Baca juga:  Ibu, Sang ’’Wonder Women’’

Program ini jelas sebagai pemantik untuk menjadikan Bali yang modern/baru, Bali yang maju, dan Bali yang menginternasional tetapi  tanpa kehilangan roh kebaliannya. Roh Bali ada pada tradisi adat budaya yang kuat dan ajeg. Adat yang kuat, budaya yang adiluhung, dan taat menjalankan ibadah keagamaan dengan penuh keikhlasan lascarya itulah jati diri/karakter orang Bali. Karena tidak bisa dimungkiri bahwa adat dan budaya sangat dipengaruhi oleh kehinduan orang Bali.

Kebudayaan memiliki wujud kelakuan sedangkan adat merupakan wujud ideal kebudayaan. Implementasi lengkap bisa disebut adat tata kelakuan karena adat adalah berfungsi mengatur kelakuan sebagai acuan norma/nilai budaya. Sistem tata kelakuan sebagai acuan norma diatur melalui awig-awig yang ada pada masing-masing desa adat. Secara umum bahwa awig-awig mengatur tentang patokan-patokan tingkah laku yang dibuat oleh masyarakat setempat berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan dalam masyarakat yang didasari oleh konsep Tri Hita Karana.

Ketika berbicara masalah adat dan budaya Bali perlu diapresiasi oleh segenap masyarakat Bali. Mengisi ulang kebalian orang Bali untuk pemertahanan peradaban adat dan budaya Bali harus disambut baik oleh semua orang yang tinggal di Bali. Mengisi ulang kebalian orang Bali merupakan keharusan masyarakat (krama) Bali.

Isi ulang kebalian dalam lintas generasi untuk  membentuk kesadaran sebagai cakra gilingan amutter tutur pinahayu artinya memutar cakra kesadaran dalam diri dengan ingat eling akan adat (tradisi) dan budaya yang tidak meninggalkan dan alergi dengan modernisasi (kemajuan iptek). Orang Bali harus bisa berpikir kesejagatan (mendunia) dengan adat tata kelakuan lokal sebagai bentuk karakter orang Bali.

Baca juga:  Visi Pendidikan dan SDM Inovatif

Bali yang terkenal sikap toleransi yang tinggi, ramah tamah, dan mempunyai ikatan kegotongroyongan  yang kuat jangan sampai pupus di tengah gerusan teknologi dan keterbukaan budaya dunia. Teknologi penting dalam peradaban umat manusia tapi jangan sampai menghilangan  nilai/norma adat dan budaya Bali sebagai karakter orang Bali.

Taksu dan roh Bali ada pada ketaatan menjalankan ibadah agama (Hindu), ajegnya adat, dan lestarinya budaya. Bali merupakan bagian dan harus memiliki kontribusi khazanah budaya yang didukung oleh adat yang kuat.

Bali jangan menjadi Betawi Indonesia yang kedua karena terlena oleh kemajuan teknologi dan kenikmatan kue pariwisata. Era milenial dengan kemajuan industri 4.0 harus diimbangi dengan kemampuan membentengi diri dari gerusan dampak negatif teknologi dan pariwisata.

Bali memang menjadi eksklusif karena memiliki adat yang kental dan budaya yang adiluhung sebagai pemikat pariwisata. Tradisi adat dan budaya selalu memberikan makna yang mendalam sesuai dengan konsep kehidupan masyarakat Bali.

Ambil saja contoh budaya magibung bagi orang Bali juga didasari oleh filsafat kehidupan dalam konteks kebersamaan. Di sana ada konsep nilai kebersamaan yang sampai saat ini masih bertahan seperti di Karangasem.

Setiap denyut kehidupan agama sebagai barometer kehidupan, termasuk juga  adat budaya menjadi bagian kehidupan orang Bali. Akan tetapi, adat dan budaya bukanlah agama melainkan agama adalah piranti mempertahankan adat dan budaya Bali.

Mengajegkan Bali dalam tatanan wacana memang gampang dan latah di telinga kita. Akan tetapi, mudah terucap hanya realitas sangat sulit jika tidak bersatu padu dan tumbuh kesadaran dalam diri orang Bali dan orang yang tinggal di Bali.

Benteng terakhir yang memperkuat dan ajegnya Bali adalah adat yang kuat, tegas tetapi bukan keras. Karena dalam tradisi adat ada nilai hukum dan tingkat aturan khusus yang mengatur tata nilai budaya.

Baca juga:  Dampak Mental Isolasi Pasien Dalam Pemantauan

Tata nilai memiliki nilai tinggi  apabila manusia (masyarakat) bekerja sama dengan sesamanya sebagai bentuk karakter sosial orang Bali. Adat merupakan sistem pemerintahan tradisional dengan kearifan lokal (local genius) dan sampai saat ini berjalan seiring sejalan dengan pemerintahan desa dinas yang disebut perbekel.

Desa adat memiliki sistem pengaturan yang otonom secara adat dengan undang-undang sendiri yang disebut awig-awig. Memiliki lembaga keuangan sendiri yang disebut dengan LPD (Lembaga Perkreditan Desa), memiliki pawongan keamanan adat yang disebut pecalang.

Pranata-pranata sosial seperti subak, dadia, lembaga keuangan adat jangan sampai dimasuki/direcoki politik modern dan jika salah bisa pemecah belah persatuan adat. Seperti halnya hajatan pemilihan bendesa adat harus berdasarkan paras paros, segilik saguluk salunglung sabayantaka (musyawarah mufakat) sebagai jiwa sila keempat Pancasila sebagai dasar Republik Indonesia.

Politik memang perlu tetapi tetap berhati-hati kepentingan politik modern yang memecah persatuan adat. Terbit Perda 4 tahun 2019 yang mengatur tentang adat di Bali sebagai bukti bahwa adat di Bali mendapat legitimasi dari pemerintah pusat dan daerah. Mempertahankan “ajeg Bali” tentu keterlibatan desa adat sebagai bentuk yang tidak bisa dipisahkan. Ketika euforia masyarakat dengan kesibukan dan tuntutan hidup yang semakin kompleks-modern sehingga tumbuh rasa ego-individualisme. Harapannya  jangan sampai melupakan kebersamaan sebagai bentuk dan ciri perilaku sosial lokal krama Bali yang patut dibertahankan.

Penulis, nominator guru ajeg Bali 2019 Rendang-Karangasem (SMA Negeri 1 Rendang & SMK Giri Pendawa)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *