Jokowi bersalaman dengan Prabowo Subianto (kiri) saat bertemu Sabtu (13/7/2019). (BP/ant)

Oleh Agung Kresna

Moda Raya Terpadu (MRT) di Jakarta ternyata tidak hanya berfungsi sebagai sarana transportasi publik semata, namun juga menjadi ajang rekonsiliasi politik Indonesia pasca-Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Kondisi ini terjadi ketika pertemuan Joko Widodo – Prabowo Subianto untuk pertama kalinya pasca-Pilpres 2019 yang sudah lama dinanti publik, justru berlangsung di stasiun MRT Lebak Bulus. Pertemuan berlanjut hingga halte Senayan dan berakhir dengan makan sate di sebuah mall di bilangan Senayan.

Rekonsiliasi politik di Indonesia pasca-Pilpres 2019 memang banyak digalang berbagai pihak sebagai upaya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Hal ini juga ditunjukkan melalui silaturahmi antara Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI-P dengan Prabowo Subianto sebagai Ketua Umum Gerindra, dalam ajang makan siang yang disebut sebagai ‘’politik nasi goreng’’.

Pilpres 2019 bak merupakan kontestasi ulang Pilpres 2014, karena kembali terjadi kontestasi head to head antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Meski dengan kandidat wakil prresiden yang berbeda. Sebagai sebuah ‘’tanding ulang’’, situasi ini telah memicu terjadinya polarisasi politik dan sosial yang cukup kuat di tengah masyarakat Indonesia pasca-Pilpres 2019. Kekalahan kubu Prabowo Subianto dalam Pilpres 2014 yang terulang dalam Pilpres 2019 seakan semakin menguatkan kondisi polarisasi tersebut.

Upaya rekonsiliasi politik yang dilakukan Joko Widodo semakin menegaskan adanya upaya pendekatan budaya yang selalu dilakukan Joko Widodo dalam setiap menyelesaikan suatu persoalan masyarakat. Sejak masih menjabat sebagai Wali Kota Surakarta hingga menjadi Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo selalu mengandalkan ‘’diplomasi meja makan’’ dalam melakukan dialog dengan berbagai pihak sebagai upaya mencapai kesepakatan atas penyelesaian persoalan yang terjadi di tengah masyarakat.

Baca juga:  Memulihkan Kepercayaan Publik pada Hiburan Malam

Tentu masih terekam dalam benak kita bagaimana Joko Widodo berhasil memindahkan ratusan pedagang kaki lima (PKL) di Surakarta tanpa menimbulkan gejolak, setelah melewati dialog panjang melalui puluhan kali ‘’diplomasi makan siang’’. Demikian juga diplomasi ini dilakukannya saat melakukan penataan bantaran sungai di Jakarta. Tradisi makan bersama bagi masyarakat Indonesia memang telah menjadi ajang melakukan dialog sosial antarwarga masyarakat, sebagaimana adat kenduren di masyarakat Jawa atau magibung pada krama Bali.

Rekonsiliasi Terpadu

Pilpres 2019 telah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang serta penuh dengan drama politik. Sejak penentuan calon wakil presiden pada detik-detik akhir masa pencalonan, hingga masa kampanye yang cukup panjang serta melelahkan. Secara sosial-politik, masyarakat seakan sedang menjalani kontestasi dalam durasi yang cukup lama; dengan disertai masih adanya residu persaingan dalam Pilpres 2014.

Polarisasi yang terjadi di tengah masyarakat pasca-Pilpres 2019 memang dianggap cukup mengkhawatirkan oleh banyak pihak. Hal ini lebih banyak disebabkan karena kontestasi Pilpres 2019 yang berlangsung secara head to head, serta diikuti oleh kontestan yang sama dengan Pilpres 2014. Situasi polarisasi tersebut tidak boleh berlangsung secara berlarut-larut, serta harus segera diakhiri. Karena hal ini dapat menghambat keberlangsungan pembangunan Indonesia pada masa-masa yang akan datang.

Pendekatan kebudayaan harus digunakan dalam melakukan rekonsiliasi secara terpadu. Sebagaimana yang telah dilakukan para elite politik Joko Widodo, Prabowo Subianto, dan Megawati Soekarnoputri. Hanya melalui rekonsiliasi yang bernuansa budaya, maka semua persoalan akan dapat diselesaikan secara musyawarah dan mufakat. Bukan tanpa alasan bahwa area kawasan Moda Raya Terpadu telah dipilih sebagai titik awal dalam melakukan rekonsiliasi pasca-Pilpres dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019.

Baca juga:  Kota Tanpa Kumuh

Para elite politik seakan ingin membangun narasi politik bahwa rekonsiliasi yang telah mereka awali tidak bersifat tertutup dan elite. Budaya simbol yang telah melekat dalam keseharian bangsa Indonesia seakan ingin mereka narasikan. Area stasiun, halte, dan gerbong MRT adalah kawasan publik yang bisa diakses oleh semua warga bangsa. Ada simbolisme kehangatan, bukan retorika.

Tahapan Pilpres/Pileg 2019 saat ini tinggal menunggu pelantikan presiden dan para legislator serta senator terpilih. Namun masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh segenap warga bangsa Indonesia. Agar berbagai kekurangan yang terjadi pada Pilpres/Pileg 2019 dapat disempurnakan pada Pilpres/Pileg 2024 nanti. Ada beberapa hal yang harus dikerjakan oleh para pemangku kepentingan dalam pilpres dan pileg.

Pertama, harus dihindari munculnya calon presiden yang hanya berjumlah dua orang. Hal ini untuk mencegah terjadinya kontestasi yang bersifat head to head guna menghindari munculnya polarisasi masyarakat pasca-pilpres. Mungkin adanya ketentuan presidential threshold sebesar 20 persen, perlu dikaji ulang.

Karena tidak banyak partai politik yang memiliki jumlah kursi lebih dari 10 persen di parlemen. Sehingga partai politik harus saling berkoalisi lebih dari dua partai, sekaligus mendorong munculnya calon presiden yang cenderung hanya berjumlah dua pasang calon.

Baca juga:  Potensi Pasar Digital Indonesia Sangat Besar, Terus Berkembang Pesat

Kedua, durasi masa kampanye yang terlalu panjang perlu dievaluasi kembali. Tidak ada salahnya jika masa kampanye dapat dipersingkat. Karena realitasnya, masa kampanye yang cukup panjang tidak efektif dalam menghasilkan pemahaman yang mendalam atas program-program calon presiden. Namun justru memunculkan nuansa persaingan yang semakin meruncing di tengah masyarakat. Situasi ini justru sangat melelahkan secara fisik dan psikis kondisi sosial masyarakat.

Ketiga, implementasi pemilu serentak mungkin juga perlu didefinisikan ulang. Hal ini guna menghindari ‘’tenggelam’’-nya pemilu legislatif di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, sebagaimana yang terjadi pada pemilu serentak 2019. Barangkali pemilu serentak bisa dipilah menjadi dua pemilu serentak yang dilaksanakan pada dua waktu yang berbeda. Yaitu pemilu serentak di tingkat pusat, berupa pemilu presiden, DPR, dan DPD. Serta pemilu serentak di tingkat daerah, yaitu pemilu gubernur/bupati/wali kota, dan DPRD provinsi/kabupaten/kota.

Rekonsiliasi pasca-Pilpres 2019 harus dilakukan secara terpadu, tuntas dan berkelanjutan. Sehingga segenap bangsa Indonesia dapat segera bergerak maju menuju pada apa yang dicita-citakan oleh kedua kontestan Pilpres 2019. Karena bagaimanapun, presiden terpilih dalam Pilpres 2019 adalah presiden bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan hanya presiden bagi konstituennya saja. Apa pun pilihan politik kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah harga mati.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *