Menjadi ibu rumah tangga yang beragama Hindu selalu disibukkan dengan kegiatan membuat banten dan upakara. Menjelang Purnama-Tilem, bahkan Tumpek Bubuh serta Buda Cemeng selama seminggu ke depan, kaum ibu dipusingkan dengan harga bunga untuk membuat canang melangit.

Menurut para ibu, seminggu yang lalu, harga satu kilogram bunga pacar merah dan putih hanya Rp 10.000, harga bunga gumitir hanya 13.000 per kilogram. Namun sejak Rabu hingga Jumat ini, harganya sudah melangit menjadi Rp 25.000 per kilogram untuk bunga pacar dan Rp 30.000 untuk bunga gumitir.

Baca juga:  Pemberdayaan dan Transparansi LPD

Itu pun harga di tangan pedagang di Pasar Kreneng, Ketapian, dll. Alangkah mahalnya lagi kalau kita membeli di tingkat pedagang sebuah kawasan.

Yang mengherankan, sekalipun harga bunga melangit di pasar, namun petani bunga di kawasan Angantaka, Sedang, dan Abiansemal masih tetap menjual Rp 4.000-5.000/Kg. Paling mahal Rp 7.000/Kg. Ini artinya, petani tak mendapat untung signifikan, yang untung besar justru para pengepul.

Baca juga:  Membudidayakan Tanaman Bali

Mereka ini yang menjemput hasil panen petani hingga di pinggir sawah, kemudian leluasa memainkan harga bunga ke pedagang di pasar. Kasihan petani bunga tak menikmati seberapa hasil jerih payahnya. Lagi pula mereka mengeluarkan dana juga untuk pembibitan dan pupuk serta risiko tanaman mati.

Saya berharap dengan Pergub No.99/2019, pemerintah perlu menjembatani petani dengan konsumen/pedagang tingkat I, bukan harus lewat pengepul. Dengan demikian, harga bunga makin murah, petani sejahtera dan kaum ibu tersenyum membeli bunga.

Baca juga:  Soal Penerapan "New Normal" di Pasar Tradisional, Wabup Artha Dipa Sarankan Ini

Jika tidak segera dipotong rantai pemasaran bunga ini, selamanya menjelang hari raya dan Purnama serta rerahinan di Bali, harga bunga akan melangit. Semoga semua pihak mulai tergerak untuk umat kita.

Nang Eca

Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *