Sejumlah anak-anak sedang membaca di perpustakaan yang disediakan di Pura Ulun Danu Batur. (BP/dok)

Oleh Anggi Arigusman, M.Pd.

Education is the most powerful weapon which you can use to change the world. (Pendidikan adalah senjata terampuh yang dapat kamu gunakan untuk mengubah dunia) – Nelson Mandela.

Tak dapat dipungkiri, pendidikan adalah salah satu faktor terpenting dalam kemajuan bangsa. Bahkan tingkat keberhasilan suatu bangsa dalam pendidikan dapat meningkatkan marwah suatu bangsa di mata dunia. Sebagai sebuah negara berkembang, Indonesia masih terus berbenah demi kesuksesan pendidikan yang dapat menghasilkan generasi unggul dimasa mendatang.

Budaya literasi khususnya membaca adalah salah satu kunci yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan. Karena membaca adalah gerbang untuk membuka cakrawala dunia. Ironisnya hingga saat ini tingkat budaya literasi siswa Indonesia masih sangat rendah.

Berdasarkan hasil PISA (Programme for International Student Assessment) rilisan Organisation for Economic Co-Operation and Develompent (OECD) tahun 2015, Indonesia memperoleh nilai rata-rata 395.3 dari tiga aspek penilaian yaitu literasi membaca, matematika, dan sains. Hasil ini menempatkan Indonesia di urutan ke-62 dari 70 negara yang dinilai. Jauh di bawah Vietnam, sesama negara ASEANyang memperoleh nilai rata-rata 502.3 dan menempati peringkat 22. Apalagi Singapura yang menempati peringkat 1 dengan nilai rata-rata 551.7.

Penelitian lain yaitu penilaian literasi bertajuk ‘World’s Most Literate Nations’ yang diumumkan pada Maret 2016 dan dirilis oleh Central Connecticut State University (CCSU) menempatkan Indonesia pada posisi 60 dari 61 negara yang dinilai. Ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat literasi siswa Indonesia.

Baca juga:  Imlek dan Indonesia yang Bineka

Pertama, dari sisi orangtua sangat jarang sekali yang memiliki kepedulian terhadap pembangunan budaya literasi dalam keluarga. Padahal keluarga adalah lingkungan pertama yang dikenal anak.

Anak akan melihat bagaimana kebiasaan orangtuanya dalam “berliterasi”. Kedua adalah faktor guru dan kebiasaan di sekolah. Kebanyakan guru masih belum mampu mendorong dan memotivasi siswa untuk gemar membaca.

Faktor ketiga adalah masih belum maksimalnya usaha pemerintah dalam menyuplai buku-buku yang sesuai dan menarik minat siswa untuk membaca. Keempat adalah faktor ekonomi.

Harga buku yang relatif tinggi bagi kebanyakan masyarakat Indonesia sangat berpengaruh terhadap minat baca masyarakat. Karena di saat masyarakat berpikir untuk membeli buku bacaan keluarga, mereka juga terpikir dengan kebutuhan mendesak lainnya yang tidak bisa dikesampingkan seperti kebutuhan pangan dan biaya hidup lainnya.

Selain keempat faktor di atas, sulitnya mendapatkan buku bacaan yang menarik di pasaran khususnya di daerah-daerah turut menjadi penyebab rendahnya tingkat membaca siswa dan masyarakat. Di lain sisi, ada juga yang menemukan bahwa ternyata minat baca masyarakat sangat tinggi apabila disodorkan buku yang sesuai dengan minat mereka seperti yang dituturkan oleh Nirwan seorang aktivis literasi di Indonesia.

Permasalahan rendahnya budaya literasi tidak bisa dianggap enteng. Budaya literasi akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan pola pikir. Berbagai dampak buruk bisa terjadi di masa sekarang ataupun yang akan datang.

Dalam kondisi saat ini, mudahnya masyarakat mempercayai berita hoax adalah salah satu gejala dari rendahnya literasi kita. Karena orang yang memiliki budaya literasi tinggi tidak akan mudah percaya dengan informasi yang belum jelas kebenarannya.

Baca juga:  Kemenkominfo Intensifkan Literasi Keamanan Digital

Tingginya angka kemiskinan -satu masalah yang belum pernah berhasil dituntaskan hingga detik ini- adalah salah satu dampak tidak langsung dari rendahnya budaya literasi. Rendahnya budaya literasi membuat perhatian masyarakat pada pendidikan juga rendah karena minimnya pengetahuan. Hal ini membuat kualitas sumber daya manusia jauh tertinggal.

Di sisi lain, Indonesia sedang menuju puncak bonus demografi dan Indonesia emas 2045 dimana 70% masyarakat Indonesia berada pada usia produktif. Tentu kita semua berharap bahwa bonus demografi membuat Indonesia menjadi negara besar yang maju dengan kekuatan politik, ekonomi, sosial, pertahanan, dan keamanan.

Namun, dengan budaya literasi yang sangat rendah maka hasil ini akan sangat sulit bahkan mustahil untuk dicapai. Justeru kekhawatiran akan semakin tingginya pengangguran dan kemiskinan akibat ketidak mampuan bersaing dengan dunia global mungkin saja terjadi dan bahkan lebih buruk dari itu.

Saat ini produktivitas pekerja Indonesia masih belum berdaya saing. Hal ini bisa dilihat dari peringkat Indonesia di ASEAN yang berada pada urutan keempat di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Hal ini adalah sebuah ironi, mengingat potensi Indonesia dengan jumlah penduduk yang jauh lebih besar dibanding negara-negara tersebut.

Tak ayal, meningkatkan iklim literasi yang baik mutlak diperlukan sebagai upaya meningkatkan kualitas SDM demi kesiapan warga negara Indonesia dalam kancah persaingan global. Untuk mengatasi permasalahan literasi Indonesia tidak cukup hanya mengandalkan salah satu pihak seperti bergantung pada pemerintah saja.

Baca juga:  Penderitaan Calon Penumpang Pesawat Terbang

Perlu sinergitas yang solid dari seluruh elemen yang terkait. Mulai dari orangtua, mereka seharusnya mengenalkan dunia literasi membaca pada anak sejak dini sehingga hal ini menjadi kebiasaan positif bagi anak-anak dalam mengembangkan budaya literasi.

Di sekolah guru juga punya andil yang sangat menentukan terhadap tingkat minat baca siswa. Orangtua dan guru harus selalu menjadi teladan bagi siswa dalam membudayakan literasi dalam keseharian. Orangtua dan guru juga harus meningkatkan upaya dalam memotivasi siswa untuk meningkatkan minat baca dan rasa ingin tahu.

Arahkan siswa untuk membaca bacaan yang mereka sukai dan harus bernilai positif tentunya. Siswa juga harus dibimbing untuk dapat menyisihkan waktu yang nyaman untuk membaca.

Pemerintah perlu memperbanyak suplai buku-buku yang disukai oleh siswa sesuai dengan tingkatan mereka. Kemudahan akses untuk memperoleh buku-buku yang mendidik dan berkualitas khususnya di daerah-daerah yang jauh dari ibukota juga perlu diwujudkan.

Adapun berkenaan dengan kendala ekonomi, perlu adanya kebijakan pemerintah yang memungkinkan untuk membuat harga buku menjadi lebih terjangkau. Di samping tentu saja sangat penting bagi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dalam membangun budaya literasi yang baik untuk hasil pendidikan yang baik.

Penulis Guru Bahasa Inggris SMPN 1 Koto Besar, Kabupaten Dharmasraya, Alumnus S2 program studi Pendidikan Bahasa Inggris, di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *