Sosialisasi Ranperda Desa Adat, Senin (21/1) di Tabanan. (BP/dok)

Oleh Agung Kresna

Ketika para pengikut Maha Rsi Markandheya di abad ke-8 Masehi membentuk persekutuan di kahyangan sebagai cikal bakal terbentuknya desa di Bali, mungkin tidak pernah membayangkan bahwa persekutuannya menjadi identitas adat Bali saat ini. Apalagi setelah pada kelanjutannya Mpu Kuturan melakukan penataan desa dan kahyangan dengan mewujudkan Kahyangan Tiga, yaitu Pura Puseh, Pura Desa, dan Pura Dalem sebagai tempat pemujaan bagi seluruh krama desa; guna mengamalkan ajaran Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa).

Salah satu keistimewaan desa adat di Bali yang selama ini dikenal sebagai desa pakraman adalah adanya awig-awig yang dibuat oleh krama desa sendiri sebagai pedoman krama desa dalam bermasyarakat kesehariannya. Awig-awig ini menjadi sumber kesejahteraan dan kebahagiaan krama desa yang diatur dalam balutan filosofi Tri Hita Karana. Sehingga pantas jika desa pakraman sebagai desa adat disebut sebagai jati diri krama Bali.

Hal itu jugalah yang menjadikan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Desa Adat yang saat ini sedang digodok di DPRD Bali masih saja memunculkan silang pendapat dari berbagai pihak selaku pemangku kepentingan yang terkait. Tarik ulur ini terjadi sejak munculnya klausul perubahan kepanjangan nama LPD menjadi Lembaga Pacingkreman Desa, perubahan nama Desa Pakraman menjadi Desa Adat, hingga pembentukan LOKA (Lembaga Otoritas Perekonomian Adat); yang menjadi muatan dalam Ranperda tersebut.

Realitas ini sekaligus juga menunjukkan tingginya kepedulian krama Bali atas desa pakraman yang dihuni dan dimilikinya. Desa pakraman sebagai desa adat di Bali, memegang peran utama dalam keseharian kehidupan krama Bali. Sehingga pantas jika perubahan –meski kecil- yang akan dikenakan pada desa adat, akan memunculkan pro dan kontra atas akibat perubahan yang bakal muncul di kemudian hari.

Baca juga:  Dipastikan, Nama Desa Pekraman Diganti Jadi Desa Adat

Keseharian kehidupan krama Bali sejak lahir hingga meninggal dunia, secara adat, budaya, dan agama berada dalam tata kelola desa pakraman. Sehingga tidak bisa dimungkiri bahwa sanubari krama Bali adalah sejalan dengan eksistensi desa pakraman. Segenap krama Bali harus menjaga adat, tradisi, dan warisan leluhur sebagai wujud menjaga Bali.

Disrupsi Budaya

Arus globalisasi yang tak pelak juga mendera Bali, bak menuntut perlu adanya perubahan cepat dan tepat di semua lini kehidupan masyarakat Bali yang dikenal identik dengan adat budaya tradisi. Bali sebagai entitas kehidupan yang penuh aura budaya membutuhkan upaya perawatan agar tetap lestari sebagai wujud identitas krama Bali. Arus global yang tidak sejalan dengan adat, kultur, dan budaya Bali harus disikapi secara arif.

Tuntutan akan perubahan harus dilihat dan disikapi dengan kejernihan hati disertai pikiran yang bijak serta implementasi yang arif. Tatanan-tananan baru yang akan disusun harus dapat menjawab tuntutan perubahan yang ada, dengan tetap menjaga/mempertahankan jati diri identitas krama Bali. Tatanan baru tidak boleh hanya untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek, namun justru harus menjawab tantangan krama Bali di masa depan.

Infiltrasi mesin ekonomi global adalah sebuah keniscayaan di tengah perekonomian global yang borderless dalam balutan teknologi digital yang bergerak cepat. Namun, kita tidak boleh hanyut dalam derasnya arus modernisasi tersebut. Jati diri ekonomi krama Bali sebagai salah satu wujud ekonomi kebudayaan Indonesia yang lebih mengedepankan etika sosial dalam tatanannya, harus tetap lestari berjalan seiring tatanan ekonomi modern. Marwah peradaban Bali tidak boleh tercemari oleh adat budaya asing.

Baca juga:  Quo Vadis Pungutan Wisman

Kearifan lokal Bali harus tetap lestari dalam tatanan anatomi tradisi adat social budaya krama Bali, namun dengan mindset baru sesuai konteks tantangan masa kini. Bingkai filosofi keseimbangan Tri Hita Karana tetap harus terbalut dalam setiap langkah ekonomi social budaya hidup keseharian krama Bali.

Menata desa pakraman sebagai desa adat Bali membutuhkan kejernihan hati dalam memahami hakikat yang terkandung dalam denyut kehidupan desa pakraman. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi culture disruption (disrupsi/ketercerabutan budaya) di kalangan krama Bali sebagai pelaku utama di dalam desa pakraman. Diperlukan langkah bersama merawat marwah peradaban Bali, agar generasi krama Bali pada masa depan tidak mengalami disrupsi budaya.

Pertama, diperlukan kesamaan pemahaman semua pihak atas hukum adat budaya Bali. Kaidah-kaidah yang termaktub dalam hukum adat budaya Bali harus dimaknai dalam satu pemahaman yang sama oleh semua pihak yang berkepentingan. Kondisi ini dibutuhkan guna menghindari tafsir subjektif yang cenderung hanya akan digunakan untuk memenuhi kepentingan jangka pendek dari satu pihak tertentu. Sekaligus hal ini sebagai upaya mencegah keterputusan peradaban Bali di tengah terpaan arus modernisasi global.

Kedua, melakukan aktivitas social ekonomi yang berkebudayaan. Aktivitas social ekonomi yang beretika budaya harus tetap menjadi karakter krama Bali, di tengah derasnya hantaman perekonomian global. Tradisi ekonomi lokal harus tetap mewarnai bisnis modern krama Bali. Partnership/kemitraan yang penuh nuansa kerja sama harus lebih dominan dibanding warna competition/persaingan yang cenderung menciptakan kondisi sosial ekonomi untuk saling mengalahkan dan menafikan pihak lain.  Kearifan lokal krama Bali sebagai cermin peradaban Bali ini harus tetap menjadi warna dalam manajemen dan tata kelola desa adat Bali.

Baca juga:  Mendukung Terobosan Memberdayakan Desa Adat

Ketiga, dilakukannya kajian profesional pendahuluan sebelum disusun legal drafting atas suatu peraturan perundang-undangan. Sebagaimana amanat UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang mengatur bahwa setiap pengajuan rancangan peraturan baru harus didasari oleh kajian akademik yang kemudian dilanjutkan dengan naskah akademik. Hal ini sebagai upaya mencegah masuknya kepentingan politik tertentu dari sementera pihak yang menghendaki terbitnya peraturan tersebut.

Sikap komunal penuh kemitraan yang dimiliki krama Bali dalam aura semangat manyama braya, mencerminkan modal social budaya Bali. Semua itu tentu harus tetap berada dalam aura tatanan anatomi tradisi adat budaya krama Bali yang berlandaskan filosofi keseimbangan Tri Hita Karana.

Dibutuhkan konsistensi kebijakan dalam jangka panjang agar selalu tetap berada dalam taksu dan keajegan Bali. Local genius krama Bali merupakan intangible heritage yang menjadi modal sosial budaya cukup besar guna menjaga Bali pada masa depan. Merajut kembali berbagai stakeholders adat dan budaya Bali menjadi langkah yang harus dilakukan secara simultan.

Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *