Tim dari organisasi sertifikasi tanaman organik sedang melakukan kunjungan ke kebun kopi Kelompok Tani Wana Lestari. (BP/istimewa)

TABANAN, BALIPOST.com – Setelah melalui proses yang panjang, Kelompok Tani Wana Lestari di Desa Munduk Temu, Pupuan mendapatkan sertifikat organik. Kelompok tani ini tersertifikasi organik dalam ruang lingkup perkebunan kopi robusta dan mendapatkan sertifikat dari LeSOS.

Dengan tersertifikasi organik, petani berharap harga jual kopi yang dihasilkan bisa lebih meningkat dan juga keinginan untuk mendapatkan bantuan mesin pengolahan pupuk organik. Ketua Kelompok Tani Wana Lestari, I Wayan Sukiarta, Senin (10/12) mengatakan Kelompok Tani Wana Lestari terdiri dari 26 orang dengan total luas lahan 50 hektare.

Dari seluruh luas ini baru satu hektar yang mendapatkan perlakuan organik dan kemudian tersertifikasi. Penerapan organik ini dimulai sejak tahun 2012.

Usaha kelompok tani Wana Lestari menuju perkebunan organik mendapatkan dukungan dari pemerintah desa maupun kabupaten dalam hal ini Dinas Pertanian dan Perkebunan. “Kita terus mendapatkan pendampingan. Di samping itu kami juga tidak mau proses yang instan tetapi secara perlahan,” ujarnya.

Baca juga:  Sampah Capai 7 Ton Per Hari, Ini Dilakukan Desa Keramas

Secara keseluruhan sebenarnya luasan lahan 50 hektar yang dimiliki Kelompok Tani Wana Lestari memiliki pionir-pionir menjadi perkebunan organik. Namun yang total bebas zat kimia baru diluasan satu hektare.

Dengan mendapatkan sertifikasi ini, Sukiarta berharap pemerintah terus melakukan pendampingan sehingga luasan untuk pertanian organik ini bisa ditambah lagi. Selain itu ia juga berharap mendapatkan bantuan mesin pengolahan pupuk oganik yang dipandang penting dalam penerapan perkebunan organik di kelompok Wana Lestari.

Menurut Sukiarta dari tahun 2012, dalam menerapkan perkebunan organik kelompoknya melakukan cara manual dengan sistem rorak. Dalam sistem rorak ini bekas tebasan pohon kopi, rambasan daun maupun rumput dikumpulkan di dalam rorak kemudian dicampur dengan kotoran kambing lalu difermentasi. “Kebetulan kelompok kami juga ada yang berternak kambing,” ujarnya.

Jika dilihat dari uang yang dikeluarkan untuk membeli pupuk organik ini tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan dalam membeli pupuk kimia. Tapi, kata Sukiarta, dari segi biaya habisnya hampir sama. “Kalau pupuk kimia tidak pakai proses tapi beli pupuknya lumayan. Kalau organik terlihat tidak mengeluarkan uang di awal tetapi prosesnya memakan biaya. Jadi sebenarnya sama saja jika dilihat dari biaya,” jelasnya.

Baca juga:  Petani Beralih ke Pertanian Organik, Manfaatkan Pupuk Kompos dari TOSS

Namun kelebihan penerapan organik ada pada tingkat kesuburan tanah serta terjaganya organisme yang menguntungkan. Selain itu juga daya tahan pohon kopi lebih kuat dibandingkan yang ditanam dengan menggunakan zat kimia.

Hal ini bisa dilihat dari segi tekstur tanah. Untuk yang organik, tanah menjadi gembur dan saat musim kemarau tidak merusak akar kopi sehingga pohon kopi lebih kuat dan tidak cepat layu.

Sementara untuk yang menggunakan zat kimia, saat hujan tanah teksturnya becek dan saat musim kemarau menjadi pecah-pecah yang menyebabkan akar serabut pada kopi, ada yang putus. Hal ini menyebabkan daun kopi menjadi cepat layu.

Baca juga:  Wisata "Sea Plane" Tunggu Rekomendasi Pemrov dan Pusat

Dari produksi, kopi yang ditanam secara organik lebih stabil dibandingkan kopi yang mendapatkan perlakuan kimia. Kata Sukiarta pada awal-awal perlakuan, organik, produksi kopi di luasan satu hektare tersebut belum stabil dan maksimal. “Dalam tiga tahun terakhir sudah mulai menghasilkan meski masih di angka 500 kilogram kering kopi per hektare. Umumnya kopi di Munduk Temu jika cuaca mendukung menghasilkan 700 kg hingga 1.200 kg kopi kering per hektar,e” papar Sukiarta.

Karena sudah organik diharapkan harga jual kopi bisa lebih mahal. Lanjut Sukiarta kelompok taninya menjadi penyangga dalam hal suplai kopi ke Bumdes Munduk Temu dan telah ditetapkan harga lebih mahal lima persen dari harga pasar ditambah Rp 75 per kilogram untuk kopi pilihan. “Itu harga dulu sebelum mendapatkan sertifikat. Diharapkan harganya bisa naik,” harapnya. (Wira Sanjiwani/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *