Foto sejumlah siswa sedang belajar sebelum pandemi Covid-19. (BP/dok)

Dunia pendidikan tak kunjung menemukan identitas. Perubahan masih menjadi hal paling sering dilakukan. Mulai dari kurikulum, materi pembelajaran, hingga sistem pengelolaan siswa di sekolah.

Yang jelas, dunia pendidikan negeri ini terus mencari model dan jati diri. Kini yang patut diperhatikan full day school. Kebijakan ini tetap perlu dicermati dan dikaji. Sejumlah sekolah percontohan program ini memang bisa melakukan programnya, setidaknya, siswa sudah mengelola waktunya secara penuh di sekolah. Masuk pagi, pulang sore.

Ya, itulah dunia anak-anak kita saat ini. Anak-anak kita mengikuti pembelajaran penuh di sekolah, sehingga waktu untuk beradaptasi dengan lingkungannya  menjadi minim. Mereka hanya punya waktu beradaptasi  hari Sabtu dan Minggu. Itu pun kalau mereka tak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan les tambahan.

Baca juga:  Menyiapkan Tenaga Terampil Secara Terencana

Yang jelas, anak-anak hanya menghabiskan waktu untuk belajar dan lebih banyak waktu bersama teman-teman mereka di sekolah. Semua masih berjalan lancar dan normal. Namun, bagaimana bentuk kepribadian dan interaksi sosial anak ke depan, ini yang belum menjadi kajian.

Dunia pendidikan tentu tak boleh hanya terobsesi membentuk siswa cerdas. Dunia pendidikan mestinya bermuara pada pembentukan generasi bangsa yang profesional dan beretika dan tentunya peka kehidupan sosial.

Cerdas tanpa kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sosialnya tentu akan menjadi masalah juga. Cerdas tanpa paham budaya dan tradisi di lingkungannya, tentu repot juga.

Setidaknya, program ini pada tahapan awal harus tetap dievaluasi. Perubahan perilaku dan gaya hidup anak remaja seusia anak sekolahan harus tetap dievaluasi dengan tes psikologi.

Baca juga:  Gali Bakat Siswa Secara Virtual, Astra Motor Bali Gelar Honda School Olympic Competition

Hal penting yang perlu diterjemahkan dunia pendidikan adalah menjadikan sekolah itu lingkungan yang menyenangkan. Lingkungan pembentuk karakter ini jangan sampai kaku dengan format-format pembelajarannya. Ketika anak menghabisan waktunya sebagian besar di sekolah, lingkungan sekolah haruslah nyaman.

Model pembelajaran juga tak boleh dengan satu metode. Artinya, membuat anak betah di sekolah bukanlah pekerjaan mudah, terlebih pada jam-jam krusial. Lingkungan sekolah hendaknya menjadi miniatur kehidupan sosial. Artinya, dengan metode yang variatif, guru hendaknya bisa mengenal anak pada lingkungan yang lebih luas, walaupun hanya ada di lingkungan sekolah.

Ini penting dilakukan untuk menjaga anak-anak tidak kehilangan masa anak-anak dan masa remajanya hanya dengan buku-buku dan pelajaran. Anak harus menjadi nyaman berada di sekolah karena lingkungan belajarnya bisa menjadi rumah kedua bagi mereka.

Baca juga:  Di Yogyakarta, PTM Terbatas Munculkan Kasus Baru

Membuat anak nyaman di sekolah, tentu tak hanya berpusat pada lingkungan sekolah. Komunitas sekolah harus bisa memfisualisasikan diri sebagai orangtua dan teman bermain anak juga. Guru-guru hendaknya hadir sebagai pengajar dan orangtua mereka.

Guru profesional tentu bisa menjabarkan hal ini, karena sejatinya guru adalah figur yang berkepribadian dan memiliki kecakapan mendidik yang memadai. Tentu akan sangat jauh dari harapan ketika guru menjadi figur yang otoriter dan menjadikan anak didik sebagai objek pembelajaran. Tipe–tipe guru otoriter semacam ini mestinya segera di-upgrade agar mereka menjadi guru yang profesional sekaligus sahabat dan orangtua bagi para generasi milenial.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *