Verifikasi
Ilustrasi. (BP/dok)

Proses pemilihan calon wakil rakyat telah bergulir. Bersamaan dengan pemilihan presiden dan wakilnya, pesta demokrasi yang digelar serentak ini dilakukan April 2019. Berbarengan dengan itu, kini jalan-jalan mulai dihiasi baliho calon legislatif (caleg).

Blusukan juga sudah makin intensif. Bahkan, jika kita ikuti pemberitaan media massa, sejumlah calon legislator kini sedang berurusan dengan Bawaslu. Mereka melanggar zona larangan kampanye. Salah satunya, kampanye di kawasan pura. Nampaknya  perlu disosialisasikan  secara lebih intensif kawasan mana saja yang dianggap pelanggaran jika melakukan kampanye.

Namun, apa pun bentuk strategi mencari dukungan, tentu itu adalah seni berpolitik. Para calon wakil rakyat ini memang diberikan ruang untuk melakukan sosialisasi diri. Dikenal publik atau setidaknya memperkenalkan diri kepada masyarakat calon pemilihnya.

Budaya melakukan silaturahmi atau saling mengunjungi sanak famili pun kini makin kental. Padahal, jika tak ada kepentingan politik bisa jadi sang calon jarang punya waku untuk bertemu dengan keluarga dan masyarakatnya. Ya, dari sisi hubungan kekerabatan pesta politik pemilihan wakil rakyat 2014 memiliki dampak positif. Ruang publik terbangun dan budaya komunikasi terjaga.

Baca juga:  Belajar Bicara dengan Data

Namun, dalam konteks pemberdayaan demokrasi dan optimalisasi demokrasi untuk tujuan pembangunan bangsa, tampaknya ada banyak hal yang perlu dibenahi. Sosialisasi diri sang calon tentu tak cukup dilakukan dengan memasang baliho di jalan-jalan. Selain kurang aspiratif, cara seperti ini berpotensi merusak tata kota.  Bayangkan jika semua calon memasang baliho di pinggir jalan, kondisinya bisa ruwet. Ini secara estetika juga kurang elok.

Penting dilakukan dan dicitrakan seorang calon adalah membangun investasi sosial. Investasi sosial tentu tak bisa dibangun instan. Seorang calon legislatif setidaknya  harus teruji secara hubungan sosial kemasyarakatan. Calon setidaknya punya dukungan yang jelas di desanya. Untuk itulah, seorang calon harus sering turun ke masyarakat dan mengenal wilayah yang akan diwakilinya.

Baca juga:  Berikan Bali Otoritas Kelola Pariwisatanya

Tentu tak bisa hanya datang saat pemilihan dan meminta dukungan komunitas banjar untuk memilih. Apalagi datang dengan janji dan melakukan transaksi politik untuk mendapat dukungan. Cara-cara seperti ini mestinya mulai dihindari agar kualitas keterwakilan di DPRD jelas.

Calon terpilih hendaknya figur yang benar-benar aspiratif dan peka publik. Selama ini, kinerja DPRD banyak diragukan, mengingat sepanjang kontraknya di gedung wakil rakyat, waktunya banyak dihabiskan untuk jalan-jalan. Nyaris tak ada waktu bersama masyarakat.

Hal lain yang patut diingatkan kepada calon wakil rakyat adalah membangun mentalitas positif. Ketika kini masih banyak wakil rakyat yang terjerat suap dan korupsi bahkan narkoba, maka penting bagi rakyat untuk memahami karakter dan mentalitas calon wakilnya. Rakyat sebagai pemilih tentu tak bisa hanya bermodalkan kedekatan memilih wakilnya.

Baca juga:  Pendekatan Budaya dalam Memproteksi Kawasan Hulu

Rakyat harus cerdas dan berani menolak calon-calon yang secara mentalitas dikategorikan buruk. Marilah kita pilih calon berkualitas dengan harapan mereka mampu menjadi wakil yang efektif bagi rakyatnya. Efektif tentu bukan hanya merumuskan program pemerintahan bersama eksekutif, melainkan melakukan kontrol yang jelas atas kinerja  pemerintahan.

Belakangan ini, kontrol DPRD atas kinerja  eksekutif nyaris tak terdengar. DPRD terkesan lebih dominan menggunakan  hak bujetnya ketimbang hak-hak melakukan pengawasan terhadap pemerintaan. Akibatnya, kolusi penggunaan anggaran terjadi. Kolusi ini pun berlanjut pada praktik-praktik korupsi yang dilakukan secara berjemaah. Untuk itulah, rakyat harus jadi pemilih cerdas. Kenalilah calon, lalu putuskan pilihan.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *