Pelajar sedang mengkases layanan digital lewat HP. (BP/dok)

Oleh Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.

Semakin maju teknologi, manusia semakin dipermudah kehidupannya. Banyak keuntungan yang didapatkan dari kemajuan teknologi, seperti mudahnya mendapatkan informasi dan berita. Tinggal tekan tombol-tombol kecil dalam hitungan menit, semua informasi tersaji dengan baik. Begitu cepat dan mudahnya segala informasi dan berita bisa tersampaikan meski kita berada dimanapun.

Dengan keberadaan teknologi informasi yang semakin canggih, posisi guru sebagai penyebar ilmu pengetahuan dan informasi sudah menjadi semakin tersisih. Guru sudah tidak berperan dominan dalam pembelajaran, yang biasanya menjadi penyaji ilmu pengetahuan, sekarang hanya menjadi fasilitator pembelajaran. Pembelajaran di era milenial memberikan peluang bagi peserta didik mengeksplorasi aneka sumber pengetahuan dan informasi melalui pemanfaatan teknologi.

Betapapun baiknya sebuah teknologi, tetap saja akan selalu ada sisi negatifnya. Belakangan teknologi informasi digunakan bukan hanya untuk menambah pengetahuan dan informasi, namun untuk menyebar berita bohong dan fitnah (hoax). Bagi kelompok masyarakat yang masih memiliki daya nalar yang rendah, tentu semua berita gampang dilahap dan dianggap benar, sehingga hal ini dapat berdampak tidak baik, yakni mereka percaya begitu saja pada hal-hal yang belum tentu kebenarannya.

Percaturan politik tanah air belakangan banyak diwarnai dengan berita hoax. Ahok, mantan gubernur Jakarta harus rela kalah dari pemilihan gubernur karena berita hoax, meski sebelumnya dalam berbagai poling survei selalu dinyatakan unggul. Kasus yang paling update adalah seorang ibu yang rela menyebar fitnah dirinya teraniaya untuk sebuah tujuan yang tendensinya berhubungan dengan alasan politik juga. Tampaknya cara-cara menyebar kebohongan di media sosial menjadi trend di era digitalisasi. Gagalkah pendidikan yang menjadi landasan peradaban manusia? Haruskah manusia yang beradab mengorbankan sifat hakikat kemanusiaannya untuk tujuan-tujuan tertentu?

Baca juga:  Kreativitas, Inovasi, dan Prestasi Kota Denpasar

Pendidikan mestinya menjadikan manusia memiliki kemampuan untuk menyadari dirinya. Kesadaran akan dirinya bahwa dia adalah makhluk yang lebih mulia dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya. Manusia dibekali dengan kemampuan lain, yaitu berupa kecerdasan dan akal budi. Dengan kecerdasannya tersebut, manusia dapat memilih dan memilah mana perbuatan yang baik dan yang buruk. Kecerdasan ini mestinya dijaga untuk selalu mengusahakan melakukan segala sesuatu di jalan yang benar. Semakin tinggi pendidikan yang dimiliki oleh manusia, maka seharusnya semakin cerdas dan semakin bagus akal budinya dalam bersikap dan berbuat ke arah yang beradab dan berbudi luhur.

Sifat hakikat manusia adalah memiliki kata hati, kata hati berhubungan dengan nurani. Kata hati sering disebut sebagai pelita hati, ketika manusia ragu dalam bertindak, maka kata hati biasanya menjadi penerang dalam mengambil sebuah keputusan. Tentu keputusan yang diambil hendaknya juga menggunakan daya nalar akan baik dan buruk serta benar atau salah, sesuai dengan norma yang berlaku, baik itu norma agama dan norma sosial. Kata hati yang dipupuk dengan baik akan memberikan arah dalam melaksanakan berbagai tindakan yang luhur atau bermoral. Orang yang bermoral akan selalu meperhatikan setiap tindakannya pada jalur yang sebenarnya, yakni mengikuti norma agama dan norma sosial.

Baca juga:  Ketakutan "Adu Jangkrik" AS dan Iran

Kasus berita hoax yang sengaja dihembuskan merupakan tindakan yang tidak terpuji atau tidak bermoral, karena mereka adalah orang-orang yang tersesat dalam menggunakan kecerdasan dan akal budinya. Mata hati mereka yang seperti ini gelap dan buta, sehingga tidak mampu menerangi dirinya untuk berpikir jernih, sehingga masuk ke jurang kenistaan. Rela menggunakan jalan pintas dan keluar dari norma agama dan sosial demi sebuah cita-cita yang tidak mengagungkan moralitas.

Manusia memang memiliki kebebasan atau kemerdekaan untuk berbicara, terlebih dalam era reformasi ini, manusia memiliki hak untuk menyuarakan berbagai gagasan dan opini secara terbuka melalui berbagai media apapun. Namun, sering kebebasan yang dimiliki itu menjadi kebablasan, sehingga kurang kontrol atau bahkan kehilangan kendali. Akibatnya adalah menggunakan cara-cara yang tidak benar dalam mengekspresikannya. Kebebasan hendaknya tidak dimaknai sebebas-bebasnya, karena pada hakikatnya ada aturan-aturan yang harus diikuti dalam berekspresi dan beropini. Moralitas harus tetap dijaga dalam mengemas sebuah kemerdekaan berbicara.

Manusia juga memiliki kemampuan menghayati kewajiban, artinya tidak hanya bisa menuntut hak. Kesadaran akan kewajiban dapat diupayakan melalui mengasah kedisiplinan. Kedisiplinan rasional adalah bentuk kedisiplinan yang mengajarkan manusia menyadari bahwa sebuah tindakan yang dilakukan benar dan salah, kedisiplinan sosial mengajarkan manusia merasa malu berbuat salah kepada orang lain, dan kedisiplinan agama akan menjadi fondasi manusia untuk merasa berdosa bila melakukan tindakan yang tidak terpuji.

Baca juga:  Guru Diingatkan agar Mahir IT

Dengan demikian, hak untuk menyuarakan opini, gagasan, informasi, dan berita apapun secara terbuka dan penuh kebebasan hendaknya didasari oleh kewajiban untuk mengikuti segala aturan yang berlaku, baik itu aturan agama dan aturan sosial, begitu pula hukum yang berlaku di suatu negara. Dengan kesadaran akan hak dan kewajiban tersebut, tentu manusia akan dapat menjaga hakikat kemanusiaannya, yang membedakannya dengan makhluk lainnya di bumi.

Dari semua itu, manusia secara hakiki memiliki kemampuan untuk menghayati kebahagiaan. Manusia yang berbahagia adalah manusia yang dapat memetik segala pengalaman-pengalaman hidupnya. Pengalaman yang dimaksudkan bukan hanya pengalaman manis dan menyenangkan semata. Pengalaman pahit juga menjadi pembelajaran bagi manusia untuk menjadikan dirinya menuju ke arah yang lebih baik. Pengalaman yang manis sudah pasti akan membawa manusia pada kebahagiaan. Namun, pengalaman pahit menjadikan manusia lebih tawakal dan berserah diri serta bersyukur akan kuasa-Nya. Belajar dari pengalaman pahit, manusia harus berusaha membenahi diri agar bisa mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya, baik di dunia maupun di akhirat. Apa yang kita lakukan selama di dunia akan menjadi konsekuensi sebuah hasil yang menentukan tempat kita di alam yang lain.

Penulis, Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *