Kepala Dinas Dangin Pangkung, desa Kelating, kecamatan Kerambitan, Gusti Made Widiarta. (BP/bit)

TABANAN, BALIPOST.com – Pertanian garam di Desa Kelating, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan selama ini dikenal dengan kualitas produknya yang cukup baik dengan kandungan yodiumnya. Sayangnya, keberadaan pertanian garam di desa ini terancam punah.

Hal itu menyusul jumlah kelompok petani yang kian berkurang. Kondisi tersebut diperparah dengan tak adanya regenerasi.

Seperti disampaikan Kepala Dinas Dangin Pangkung, desa Kelating, kecamatan Kerambitan, Gusti Made Widiarta mengatakan, kelompok penggaraman di desa Kelating sempat berjaya di tahun 80 an, dimana mayoritas masyarakat menggeluti bidang tersebut. Bahkan pemasaran garam desa Kelating ini hampir menyasar seluruh desa.

Baca juga:  HUT ke-63 Astra International, Honda Bali Berikan Bantuan Peralatan Tabuh ke SLB

“Keunggulan garam desa Kelating yakni tanpa diberi tambahan yodium, sudah berkadar yodium meski sedikit,” terangnya.

Jika melihat perkembangan, dari era tahun 80 an hingga tahun ini, jumlah petani garam mulai turun. Bahkan dalam perjalalannya, banyak yang beralih ke pekerjaan lain yang dinilai mampu memberikan penghasilan lebih pasti.  Kini, yang tersisa hanya 20 orang yang tergabung dalam dua kelompok. Dan itupun sebagian besar sudah berusia lanjut dengab rata rata usia 60-70 tahun. “Sebagian besar sudah beralih ke profesi yang lebih menjanjikan. Yang tersisa sekarang sudah berusia tua. Sulit untuk mencari pekerjaan lain,” tuturnya.

Baca juga:  Klungkung Komitmen Lestarikan Bahasa dan Aksara Bali, Bupati Sebut Kewajiban Bukan Paksaan

Tidak hanya itu para generasi muda pun lebih cenderung memilih sektor pariwisata yang kini mulai memggeliat di desa setempat. “Petani semakin sedikit. Yang sekarang ini jadi yang terakhir. Generasi muda tak ada mau menekuni,”ucapnya.

Mulai ditinggalkannya usaha penggaraman ini dikarenakan penghasilan yang mereka dapatkan tidak menjamin jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Selain karena proses pembuatannya juga masih menggunakan cara tradisional.

Produksi garam, sambung dia memang cenderung fluktuatif. Saat cuaca baik, kisaran 15 kilogram bisa didapat selama tiga hari. Namun saat cuaca buruk atau memasuki musim hujan, jumlahnya turun drastis, bahkan nihil. Meski demikian, di balik harga jualnya yang tergolong stabil, pertanian ini bisa menjadi penyambung hidup. (puspawati/balipost)

Baca juga:  Penyebaran COVID-19 Rambah 33 Desa di Karangasem
BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *