Ilustrasi. (BP/dok)

MASYARAKAT Bali akan menentukan pemimpin Bali lima tahun ke depan 27 Juni besok.Pilkada serentak ini harusnya dijadikan momentum untuk menentukan satu pilihan dari paslon yang bersaing. Jangan golput apalagi apatis. Kedua, kita mesti legowo menerima apapun hasilnya.

Jika pilihan kita kalah bukan berarti kita tak ikut memiliki gubernur baru. Menghargai keputusan bersama dan banyak orang adalah karakter postif krama Bali. Hilangkan sikap asal mimpas lan malenen (asal berseberangan dan berbeda). Krama Bali perlu menunjukkan kedewasaan politik untuk menjalankan swadarma masing-masing. Siapapun yang menang dialah yang benar.

Hal ini untuk menumbuhkan kesadaran diri bahwa jabatan itu amanah, bukan berkah. Selain itu diperoleh atas perjuangan. Namun pintar saja belumlah cukup. Pintar dan memiliki banyak massa juga belum cukup. Ada faktor X yang menentukan, yakni garis tangan dan pasuecan Ida Hyang Widi Wasa.

Baca juga:  Dinas Temukan Rekayasa Laporan Keuangan di Koperasi Sari Ajeg Mandiri

Betapa pun hebatnya calon paslon berpidato, membuat program dan meyakinkan pemilih, namun jika yang namanya garis tangan tak ada tetap ada saja faktor penghambat yang membuat dia gagal menjadi pemenang. Nah, faktor X ini yang tak kita ketahui karena semua orang memiliki perjodohan dan garis hidup masing-masing. Jawaban inilah harusnya mampu mereduksi emosi pihak yang kalah, oh ternyata garis tangan menjadi gubernur Bali belum berpihak pada kita.

Secara teori psikologis, orang yang disebut matang dan stabil emosinya jika mereka bersikap tenang dan biasa-biasa saja ketika menang dan ketika kalah. Terlepas dari faktor X tersebut, mencari pemimpin yang seken-seken (sungguh-sungguh) pemimpin memang sulit. Semasih hidung manusia menghadap ke bawah mereka pasti memiliki kepentingan.

Baca juga:  Pengungsi Bencana Gunung Agung, Sejumlah BUMN Mulai Persiapkan Bantuan Jangka Panjang

Nah kepentingan ini harus jelas dibalut untuk rakyat Bali bukan kepentingan partai, apalagi diri sendiri. Tak lagi ada kelompok ini cagub kalah dan menang. Nah, untuk mampu bersikap demikian kayaknya keweh alias sulit.

Pemimpin Bali ke depan harus berani dan tidak hanya diam di zona nyaman. Karena Bali membutuhkan sosok pemimpin yang mampu mengatasi kesenjangan pembangunan. Pemimpin Bali ke depan senantiasa berpedoman pada Tri Hita Karana. Lebih dari itu, Bali butuh pemimpin yang inovatif, kreatif dan berpikir holistik.

Pemimpin Bali yang berani juga bisa diartikan berani memperjuangkan hak-hak Bali di tingkat nasional. Seperti penerimaan dari Bandara Ngurah Rai dan pelabuhan laut di Bali. Mampu memperjuangkan otonomi khusus bidang budaya. Yang penting lagi memperjuangkan dana segar bagi desa pekraman dari sektor pariwisata.

Baca juga:  Tata Birokrasi, Koster Ingin Lompatan Besar Wujudkan Bali Era Baru

Coba bayangkan jika ada masalah dan keletehan desa pekraman yang macaru. Semua atraksi budaya yang dinikmati dunia pariwisata sumber dan pendukungnya adalah krama desa pekraman. Selama ini desa pekraman hanya dapat ampas pariwisata.

Dolar dan rupiah mengalir ke Jakarta dan negara tetangga seperti Singapura. Mereka dengan mudah menjual pariwista Bali dari negaranya. PHRI pun tak menyentuh desa pekraman kita. Disinilah diperlukan pemimpin yang punya nyali, membela dan untuk krama Bali sebagai pendukung budaya Bali.

Terakhir adalah pemimpin yang dapat menciptakan pemerintahan yang bersih. Singkatnya pemimpin yang berkarakter. Juga mampu mewujudkan masyarakat yang rukun, aman, damai, sejahtera dan adil. Termasuk mengatasi kesenjangan ekonomi Bali Utara dan Bali Selatan.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *