NEGARA, BALIPOST.com – Wanita lanjut usia penjual Sate Lilit ini namanya Wayan Rame. Sesuai namanya Rame, dagangan Mek (ibu) Rame semenjak berjualan di emperan depan rumahnya di bilangan Lingkungan Ketapang, Banjar Adat Peken, Lelateng memang cukup ramai.

Kendati sudah puluhan tahun berjualan sate lilit, Memek Rame ini baru dua tahun ini membuka lapak di depan rumahnya. Sebelumnya, Rame yang sudah memiliki tujuh cucu ini, berjualan berkeliling ke rumah-rumah warga.

Keputusannya untuk berjualan di lapak itupun karena dipaksa keadaan. Sekitar tiga tahun lalu, sosok wanita tangguh ini ditabrak kendaraan saat berjalan untuk berjualan.

Di masa tuanya ini, Rame tetap berjualan sate lilit dengan sambal khas yang dibuatnya sejak tahun 1970-an. Sejatinya Rame sudah enggan berjualan pascakecelakaan lalu.

Baca juga:  Dorong Kemajuan Perguruan Tinggi, Media Punya Peran Strategis

Namun, ibu lima anak ini akhirnya mau berjualan dengan bantuan modal dari relawan. “Saya sudah berjualan keliling sejak hamil, dari mulai harganya satu rupiah atau satu ringgit, sampai sekarang,” ujarnya mengawali percakapan.

Rame bersama suaminya, Komang Suena sejatinya berasal dari Karangasem. Bersama orangtuanya mengungsi ke Lelateng, Negara ketika Gunung Agung meletus. Keahlian memasak sate lilit dan membuat bumbu dipelajarinya sendiri. Sehingga selama berpuluh tahun, Rame menekuni berdagang sate lilit dengan berkeliling.

Bahkan hingga di usai lanjut (lansia), Rame sebelumnya masih berkeliling menjual dagangannya itu ke rumah-rumah sekitar Lelateng. Ia mengaku tidak ingin mengecewakan para pembeli yang sudah bertahun-tahun  menjadi langganannya.

Baca juga:  Aktivitas Galian C di KRB III Disoroti Warga

Namun, sekitar tiga tahun lalu, Rame terpaksa tidak lagi berjualan berkeliling. Kecelakaan yang membuatnya terbaring dan sempat kesulitan berjalan. “Saya dulu saat siteng, juga sering menjadi manca (bagian pengatur orang acara, red). Sekarang hanya berjualan saja, itupun kalau ada ikan segar,” katanya.

Kebetulan kemarin ia mendapatkan belasan kilogram ikan laut. Dengan modal yang dikumpulkan, Mek Rame membeli ikan laut campur seharga Rp 50 ribu perkilogram.

Bahan ikan yang digunakan biasanya ikan putihan dan ikan lemading. “Be lemading yang mahal, sampai Rp 100 ribu. Lain (ikan) itu tidak berani (masak),” terangnya.

Kendati usaha kecil dan sederhana, Mek Rame tetap mempertahankan kualitas. Dari pengalamannya bertahun-tahun membuat sate lilit, ia memilih ikan-ikan yang segar.

Baca juga:  Investasi "Theme Park" Internasional akan Masuk, Tanah Sekitar Tol Gilimanuk-Mengwi Naik Drastis

Dari 11 kilogram ikan yang dibelinya itu, Rame bisa memproduksi hingga 200 batang. Selain itu juga sebagian dibuat untuk tum ikan. Begitu pula dengan bumbu dan sambal ia racik sendiri.

Untuk proses memasak (bakar sate), ia dibantu oleh suami. Dari hasil berjualan itu biasanya omsetnya sehari Rp 700 ribu. Dengan untung tipis Rp 100 ribu paling banyak.

Rame sejatinya berkeinginan usahanya ini berkembang. Namun, Rame mengaku terkendala modal.

Saat memutuskan berjualan dengan membuka lapak sederhana di depan rumahnya, modal didapat dari bantuan relawan yang peduli dengannya. Modal senilai Rp 1 juta itupun untuk membuat lapak emperan. Kadang, untuk menjaga kualitas, Rame juga memilih tidak berjualan ketika tidak ada ikan bagus. (Surya Dharma/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *