Ilustrasi. (BP/ist)

Oleh I Wayan Adi Mahardika

Saya sedang terlibat dalam sebuah program reforestasi di Karangasem, Bali. Ada dua desa yang menjadi target program kami, Dukuh dan Tulamben. Kedua desa ini berada di lereng timur Gunung Agung, dan berhadapan langsung dengan laut di timur Bali. Daerah ini memiliki luas lahan kritis yang tinggi, dengan iklim lokal yang kering dan panas.

Air bersih adalah hal yang langka di sini. Warga menampung air hujan dalam bak-bak, namun simpanan air ini hanya bertahan hingga beberapa minggu setelah musim hujan. Di musim kering mereka harus membeli air untuk kebutuhan sehari-hari.

Tidak banyak yang dapat dimanfaatkan dari tanah lahan kritis dan iklim lokal yang panas dan kering. Sebagian besar penduduk setempat menjalankan pertanian sebagai sumber penghidupan, namun ini hanya terbatas pada pilihan tanaman yang sesuai dengan tipe tanah yang miskin hara dengan iklim yang arid. Jagung dan kacang-kacangan ditanam saat musim hujan.

Saat musim kering, petani bergantung pada hasil jambu mete dan pohon lontar. Penopang hidup lain bagi warga daerah ini adalah alam pesisir dan laut. Banyak warga yang mengais rejeki sebagai nelayan tradisional. Pariwisata bahari yang ditunjang oleh keindahan ekosistem terumbu karang, juga menyajikan lapangan pekerjaan seperti pemandu selam dan profesi-profesi di bidang hospitality.

Dalam segala keterbatasan sumber daya alam dan kesederhanaan kehidupan masyarakat di Dukuh dan Tulamben, pemanasan global membawa ancaman yang nyata. Bumi yang lebih panas telah membawa musim hujan yang lebih pendek namun ekstrem, sementara gelombang panas saat musim kering menjadi semakin intens.

Dari tahun 2013 hingga 2017, paling tidak telah terjadi 3 kali kebakaran hutan saat penghujung musim kering di daerah ini, yang semakin mengurangi tutupan pohon yang sudah minim. Frekuensi turunnya hujan lebat yang semakin tinggi telah dan diproyeksikan akan semakin parah menggerus lahan yang sudah kritis. Erosi berimplikasi pada semakin buruknya kualitas dan produktivitas tanah, serta rusaknya lahan perkebunan dan fasilitas seperti jalan.

Lahan kritis yang terkikis saat musim hujan juga berdampak destruktif pada ekosistem terumbu karang di bawah. Lumpur dan sedimen lainnya yang terbawa oleh air hujan dan masuk ke laut, diketahui dapat memicu coral bleaching, menyebabkan terumbu karang menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan kematian.

Gelombang tinggi dan badai pada Juli 2103 dan 2015 lalu, yang juga dipicu oleh peningkatan suhu global, juga telah merusak terumbu karang secara fisik. Rusaknya ekosistem terumbu karang akan menjadi titik awal runtuhnya pariwisata bahari, salah satu sumber penghidupan vital di daerah ini.

Baca juga:  Yang Hancur dan Hilang, Gelombang Gelap Perubahan Iklim

Penyerap Karbon

Apa yang harus dilakukan? Dukuh dan Tulamben tentu bukan satu-satunya daerah yang terancam oleh perubahan iklim. Ada banyak komunitas di Indonesia yang sangat rentan akan pengaruh peningkatan suhu global. Ini harus menjadi perhatian serius karena potensi besarnya dalam menimbulkan lebih banyak bencana, memperparah kemiskinan dan kelaparan, hingga memicu konflik.

Perubahan iklim adalah ancaman bagi stabilitas negara. Pemanasan global adalah ancaman bagi seluruh kehidupan di Bumi. Tidak ada jalan lain bagi umat manusia selain turun tangan bersama menghentikan peningkatan suhu Bumi.

Pada Paris Agreement tahun 2015, negara-negara peserta sepakat untuk mengupayakan pemanasan global tetap di bawah 1,5 derajat di atas suhu sebelum revolusi industri. Dampak pemanasan di atas 1,5 derajat diproyeksikan akan menjadi sangat berat, luas, dan sulit untuk dipulihkan.

Pesismisme muncul dari berbagai pihak, bahwa menjaga pemanasan tetap di bawah 1,5 derajat celcius di atas suhu sebelum revolusi industri sudah terlambat dan merupakan target yang tidak realistis. Adriean E. Ratery dkk. dalam sebuah studi yang diplubikasikan di Nature, memproyeksikan pada tahun 2100 rata-rata suhu global akan berada pada rentang 2-3,5 derajat celcius, dengan kemungkinan kecil akan berada di bawah 2 derajat celcius.

Namun perlu dicatat, perhitungan statistik yang digunakan ini belum mepertimbangkan legislasi-legislasi dan inovasi-inovasi di masa depan yang dapat menurunkan emisi karbon dioksida secara drastis. Peneliti menekankan bahwa ini masih dan hanya dapat dicapai dengan perubahan drastis.

Untuk mencapai target di atas, dunia sangat membutuhkan ambisi dan kontribusi Indonesia. Tahun 2016 lalu, Indonesia merespons dengan meratifikasi hasil dari Paris Agreement, yang sebelumnya juga telah diikuti dengan Nationally Determined Contribution (NDC), dimana negara berkomitmen untuk tanpa syarat akan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% hingga 41% pada tahun 2030.

Data dari World Resources Institute (WRI) tahun 2013, Indonesia menduduki peringkat kelima untuk emisi gas rumah kaca secara keseluruhan. Pada Indonesia First Biennial Update Report dalam United Nations Framework on Climate Change, penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di Indonesia adalah dari sektor tata guna, alih fungsi lahan, dan kehutanan, yakni sebesar 48%, diikuti oleh sektor energi dengan 34,9%.

Bercermin dari data tersebut, menurut WRI, potensi mitigasi terbesar Indonesia ada pada moratorium kehutanan, disusul dengan transisi masif ke sumber energi bersih. Emisi dari sektor energi telah meningkat cepat selama dekade terakhir, dan diperkirakan akan menjadi dominan seiring dengan tekanan dari perkembangan sosial-ekonomi Indonesia.

Baca juga:  PBB Ingatkan Era Pemanasan Global Sudah Tiba

Memiliki hutan tropis terluas ketiga di dunia, hutan Indonesia adalah penyerap karbon yang signifikan bagi bumi. Namun, data dari World Wildlife Fund (WWF) menyebutkan dalam rentang 2000 – 2010, hutan Indonesia berkurang 1,2 juta hektar setiap tahunnya.

Meski angka ini telah menunjukkan penurunan, yang mana pada tahun 2016-2017 laju deforestasi tercatat sebesar 479 ribu hektar untuk rentang tahun itu, banyak hal yang mutlak perlu perbaikan radikal.

Presiden Joko Widodo, pada 17 Juli 2017, menandatangani Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2017 soal penundaan dan penyempurnaan tata kelola pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut. Moratorium ini mutlak harus diteruskan dalam jangka panjang. Pemerintah Indonesia harus memandang keberadaan hutan secara holistik. Hutan dan lahan gambut tidak hanya penghasil sawit, kayu, bahan tambang, dan komoditas lainnya yang dimanfaatkan atas nama pendapatan domestik bruto dan kesejahteraan sementara masyarakat lokal.

Siklus Air

Hutan Indonesia adalah bagian tak terpisahkan dari siklus air, habitat bagi keanekaragaman hayati, dan penyerap karbon yang vital untuk menekan pemanasan global, serta sangat penting bagi negara ini untuk meemenuhi komitmennya dalam menurunkan emisi gas rumah kaca. Kelestarian hutan adalah pangkal dari kesejahteraan manusia yang berkelanjutan, akar bagi stabilitas negara dalam jangka panjang.

Pemerintah juga harus mengawasi jalannya program Perhutanan Sosial, yang sangat berpotensi menjadi bumerang bagi upaya konservasi. Diatur dalam Permen LHK Nomor P.83/2016 tentang Perhutanan Sosial, program ini memberikan hak kelola atas hutan negara bagi msyarakat di sekitar hutan. Tujuannya adalah untuk pemberdayaan masyarakat dengan tetap berpegang pada aspek kelestarian.

Seluas 12,7 juta hektar hutan telah dialokasikan untuk program ini. Program ini harus mendapat pengawasan dan pendampingan intensif pada tingkat tapak, agar masyarakat paham secara kuat dan tetap berpegang pada aspek kelestarian hutan dalam menjalankan hak pengelolaan yang telah diberikan. Sebab, sekali hutan dibabat untuk komoditas yang tidak sepantasnya, kita akan kehilangan sistem penunjang kehidupan yang telah dibentuk alam selama ratusan juta tahun.

Pogram Perhutanan Sosial harus dijalankan dengan konservasi dan peningkatan penyerapan karbon sebagai salah satu patok utama yang tidak dapat ditinggalkan. Selain hutan di darat, Indonesia juga memiliki potensi besar dalam penyerapan gas rumah kaca melalui karbon biru, yakni karbon yang tersiklus dalam ekosistem pesisir dan laut, seperti mangrove, rawa pasang surut, dan padang lamun.

Baca juga:  Puncak Karya IBTK Besakih, Pemedek Diminta Taati Prokes

Dikutip dari halaman Food and Agriculture Organization of the United Nations, Indonesia memiliki 22% dari mangrove dunia. Dan sebagai negara tropis dengan garis pantai terpanjang, potensi karbon biru Indonesia sangat signifikan sebagai sistem sekuestrasi karbon global. Diperlukan strategi tepat dalam penegakan hukum dan manajemen karbon biru yang mengkhusus dan berkelanjutan.

Dalam tekanan pembangunan yang masif di kawasan pesisir, deforestasi, dan destruksi ekosistem pesisir dan lahan basah harus segera disudahi. Daerah perlu mendapat pendampingan dan pengawasan dalam implementasi tata ruang, agar senantiasa memprioritaskan konservasi ekosistem pesisir.

Dalam sektor energi, diperlukan kebijakan yang agresif untuk percepatan transisi ke sumber energi terbarukan. Dengan jumlah penduduk lebih dari 260 juta jiwa dan perkembangan ekonomi yang diprediksi akan semakin melejit, emisi gas rumah kaca Indonesia dipastikan akan melonjak pada sektor ini untuk beberapa dekade ke depan. Pemerintah perlu mengupayakan transisi ke energi bersih dan terbarukan sedini dan setepat mungkin.

Sekarang adalah saat yang tepat bagi Indonesia untuk membangun fondasi untuk sumber energi bersih. Dengan gencarnya pemerintah membangun dari desa, pinggiran, dan pedalaman, sumber energi bersih seperti tenaga surya dan angin, dapat menjawab kebutuhan komunitas yang terisolasi. Ini tentu juga akan menjadi nilai tambah, sebab energi bersih tidak hanya akan dapat berkontribusi pada penurunan emisi, namun juga menunjang distribusi energi yang berkeadilan.

Ambisius untuk ikut menjaga agar pemanasan tetap di bawah 1,5 derajat celcius adalah satu-satunya jalan untuk kesejahteraan jangka panjang. Pemanasan global yang tetap di bawah 1,5 derajat celcius berarti kekeringan yang tidak semakin parah, lahan kritis yang tidak semakin meluas, terumbu karang dan ekosistem laut yang tetap sehat untuk menunjang penghidupan masyarakat pesisir, cuaca ekstrem yang tidak semakin parah, siklon tropis yang tidak semakin intens, sehingga bencana seperti banjir dan tanah longsor juga tidak semakin sering terjadi.

Terwujudnya tujuan ini juga berarti menciptakan udara yang lebih bersih, karena harus dicapai dengan peralihan 100% ke sumber energi terbaharukan. Menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajat celcius adalah hal yang masih mungkin diwujudkan, dan ini adalah skenario yang jauh lebih baik dibandingkan dengan menanggung segala kerugian sebagai dampak dari suhu Bumi yang lebih tinggi.

Penulis, Lulusan S2 The university of Edinburgh at United Kingdom, Jurusan : Biodiversity and Taxonomy of Plants.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *