JAKARTA, BALIPOST.com – Revisi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) tidak hanya membahas penambahan kursi pimpinan MPR, DPR dan DPD tetapi juga menyepakati pasal yang mempertegas frasa “kewajiban” Polisi memanggil paksa terhadap mitra kerja DPR yang tak kunjung mau memenuhi panggilan ke DPR.

Nantinya, Polisi bisa menahan atau menyandera pihak atau objek pemeriksaan yang tak kunjung mau memenuhi panggilan DPR. “Itu kalau dipanggil 3 kali berturut-turut tanpa alasan yang jelas, ya DPR diberi kewenangan untuk melakukan penyanderaan dengan bantuan kepolisian,” kata anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (9/2).

Kewenangan menyandera DPR terhadap pihak-pihak yang mangkir dari panggilan DPR telah disetujui pemerintah bersama 10 fraksi di DPR yaitu penambahan dua ayat pada pasal 73 revisi UU MD3 yang merupakan respon atas permintaan Polri kepada Komisi III DPR.

Baca juga:  Jangka Panjang, Pemerintah Harus Pikirkan Sumber Pendapatan Pengungsi

Selama ini, Polri tidak mau melakukan pemanggilan paksa terhadap pihak yang mangkir dari panggilan DPR karena pasal mengenai persoalan tersebut dinilai belum secara tegas memberi wewenang kepada Polri.
Oleh karena itu, kewenangan Polri memanggil paksa ditambahkan frasa “wajib”. Objek yang dipanggil pun beragam mulai perorangan, badan hukum swasta, atau lembaga pemerintah.

Namun, Masinton membantah penambahan dua ayat pada pasal tersebut lantaran dilatarbelakangi keengganan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang hingga hari ini belum juga mau memenuhi panggilan Pansus Angket KPK DPR RI. Menurutnya tak ada kaitannya dengan Pansus Angket KPK.

Baca juga:  Bawa Sabu, Sopir Dibekuk Polisi

Sebab, penambahan ayat untuk menegaskan adanya hukum acara pada UU MD3. Sebab, Polri menilai hukum acara pada pasal tersebut belum diatur. “Ini kan berbeda hukum acara antara konteks penegakan hukum dengan UU MD3 yang melaksanakan fungsi pengawasan secara politik,” tutur Masinton.

Penambahan dua ayat sempat mengundang kontroversi karena di dalam ayat tambahan itu memberikan wewenang kepada Polri untuk memaksa pihak yang mangkir untuk memenhi panggilan DPR. Menurut Masinton, DPR merupakan representasi rakyat dan mendapat wewenang untuk memanggil pihak manapun serta bertindak tegas pada pihak yang mangkir dari panggilan DPR. “Karena prinsip mekanisme kontrol adanya di DPR sebagai representasi rakyat yang dipilih melalui pemilu,” kata politisi dari PDI Perjuangan ini.

Baca juga:  Menjelang Pencoblosan, Ini Prediksi Polresta Terkait Gangguan Pilkada

Apabila penambahan ayat pemanggilan paksa ini diberlakukan nantinya, jika ada pihak yang mangkir hingga 3 kali dari panggilan DPR tanpa alasan jelas, DPR diberi kewenangan untuk menyandera dengan bantuan kepolisian. Soal akan ada pihak yang keberatan dengan pasal ini kemudian akan mengajukan gugatan uji materi (judicial review) ke MK, Masinton mempersilahkan. “Ya nggak apa-apa lah, ya memang mekanismenya di sana kalau dianggap ini bertentangan silakan diuji. Kan ruangnya diberikan negara oleh Mahkamah Konstitusi,” kata Masinton.(Hardianto/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *