Bunga mitir dikembangkan pengungsi Gunung Agung yang mengungsi di Klungkung. (BP/sos)

SEMARAPURA, BALIPOST.com – Pengungsi Gunung Agung yang telah empat bulan di Kabupaten Klungkung memunculkan sejumlah cerita. Tak hanya dalam pembangkitan manyama braya, namun juga pada sektor pertanian.

Beberapa diantaranya menyewa lahan persawahan di Desa/Kecamatan Banjarangkan. Lahan ditanami bunga mitir yang sangat laris di pasaran. Bahkan, budidaya ini memberikan warna baru untuk petani lokal.

Lahan persawahan di Desa Banjarangkan masih terbentang luas. Musim ini tak tertanami padi. Situasi itu dimanfaatkan warga, I Wayan Sumarta untuk membudidayakan bunga mitir. Ia bukanlah petani lokal. Namun warga Desa Besakih, Kecamatan Rendang yang mengungsi di Kabupaten Klungkung sejak Gunung Agung berstatus siaga erupsi. Lahan itu ia sewa Rp 50 ribu per are. “Yang disewa ada dua lokasi. Totalnya 40 are,” ucapnya, Senin (15/1).

Baca juga:  Pengungsi di Kota Jayapura Bertambah Pascagempa

Sembari menanam bibit bunga jenis hibrida itu, melawan sengatan matahari, pria 44 tahun ini tak malu berbagi cerita. Langkahnya untuk menyewa lahan tak lain untuk menghilangkan suntuk di pengungsian. Sebuah tempat yang sangat tidak diharapkan sebelumnya.

Bergelut di bidang pertanian bukan menjadi hal baru baginya. Namun sudah menjadi rutinitas sejak di kampung halaman. Tak ada keluh kesah saat kaki dan tangannya berbalut lumpur yang lengket. Tak pula melontarkan keluhan saat didera panas dan hujan. Seluruhnya sudah menjadi “sahabat”. “Kalau di pengungsian hanya diam. Jadinya mencoba nyewa lahan untuk bertani. Dulu di desa juga menamam bunga mitir,” ucapnya.

Berstatus sebagai pengungsi, modal yang dimilikinya tak banyak. Ia pun mengaku beruntung. Keluarganya yang kehidupannya lebih mampu bisa meminjamkan uang untuk membeli bibit bunga ke wilayah Tabanan seharga Rp 1.000 per pohon. Beberapa juga dibelikan plastik penutup tanah dan obat-obatan.

Baca juga:  Aktivitas Gunung Agung Masih Tinggi, Dua Kali Terjadi Erupsi

Mengerem pengeluaran, pengolahan tanah pun diakali. Mencangkul secara mandiri bersama enam anggota keluarganya. Begitu juga dengan penanaman bibit dan perawatannya. “Modal yang diperlukan cukup besar. Per are bisa habis kisaran Rp 700 ribu,” tuturnya.

Aktivitasnya itu dilakoni sejak pagi hingga sore. Alasannya untuk menanam bunga mitir karena umurnya relatif pendek. Panennya pun bisa berlangsung cepat.

Selain itu, perawatannya tak sesulit padi. “Kalau hasilnya juga cukup laku di jual,” sebut pria berperawakan kurus ini.
Selain dirinya, budi daya serupa juga dilakukan pengungsi lain. Caranya pun sama, dengan menyewa lahan. Panennya yang berlangsung tiga hari sekali cukup menjanjikan. Mendapatkan kisaran 10 kilogram. Ini dijual ke pengepul seharga Rp 5.000 sampai 7.000 per kilogram. “Hitung-hitung biar ada pemasukan saja. Mumpung ada tempat juga,” ucapnya.

Baca juga:  Buat Panik, Anggota DPRD Sayangkan Pemkab Keliru Buat SK Erupsi Gunung Agung

Gerakan pengungsi untuk menamam bunga itu memberikan warna baru untuk pertanian setempat. Pasalnya, petani lokal belum pernah membudidayakan bunga mitir. Yang ada hanya cabai, bunga pacah, kacang panjang, padi dan jagung. “Ini tumben ada yang menanam bunga. Ternyata hasilnya bagus,” ucap seorang warga, Ni Wayan Boki. Indahnya warna bunga yang menguning, kata perempuan paruh baya ini cukup sering dijadikan background berfoto oleh wisatawan yang kebetulan melintas. (Sosiawan/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *