cuaca
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, Ir. I Made Gunaja, M.Si., (BP/may)
DENPASAR, BALIPOST.com – Harga garam di Bali dan di Indonesia naik hingga 100 persen. Dari harga semula Rp 5.000- Rp 7.000 per kilo menjadi Rp 10.000 per kilo. Hal itu karena produksi garam menurun. Berdasarkan data tahun 2016 dibandingkan tahun 2015, menurun 6,61 persen. Tahun 2016 produksi garam di Bali yaitu 10.790 ton sedangkan tahun 2015 produksinya 11.554 ton.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, Ir. I Made Gunaja, M.Si., mengatakan, hal itu karena pengaruh curah hujan yang cukup tinggi. Curah hujan yang tinggi disebabkan fenomena alam La Nina yang terjadi di Indonesia. Kondisi ini diperkirakan akan berlanjut hingga akhir 2017.

Menurutnya, faktor lain yang menyebabkan harga garam naik yaitu petambak garam merasa harga garam tidak menarik yaitu hanya Rp 500/kg garam krosok di tingkat petani. “Tidak menarik bagi petani karena harga terlalu rendah, sehingga banyak petambak garam tidak mengandalkan pekerjaan pokoknya sebagai petani garam. Jadi sekarang petani garam kita, sebagian besar orang tua-tua, tidak ada regenerasi karena dari sisi pendapatan tidak menarik,” pungkasnya.

Baca juga:  Kemacetan di Jalan Menuju Depo Sampah Dikeluhkan Warga, Kapolsek Denbar ke DLHK

Menurut Gunaja, semua kabupaten mempunyai potensi untuk dikembangkan produksi garam, kecuali Bangli. Namun produksi garam terbanyak di Buleleng dengan produksi pada tahun 2016 yaitu 8.672 ton.

Jumlah petani garam saat ini 470 orang, 409 diantaranya adalah petani garam, 61 orang pengolah garam. Pengolah garam adalah petani yang membeli garam krosok, lalu dimurnikan dan diolah kembali untuk siap dikonsumsi. Jumlah petani garam terbanyak yaitu di Buleleng 180 orang dan Karangasem sebanyak 146. Namun dari sisi luas lahan yang termanfaatkan paling besar di Buleleng sehingga produksi garam terbanyak di Buleleng.

Baca juga:  Antisipasi Inflasi Jelang Hari Raya, Ritel Diminta Jaga Stabilitas Harga

Selain itu, pengaruh luas lahan juga mempengaruhi. Namun diakui ia belum memiliki data terkait perubahan fungsi lahan petambak garam menjadi restaurant atau hotel. Namun dari fakta di lapangan, terdapat lahan petambak garam yang berubah fungsi menjadi hotel. Contohnya di Pantai Kelating, Tabanan.

“Tantangan kita ke depan bagaimana upayanya membantu meningkatkan pendapatan petambak garam ini dengan meningkatkan harga jual. Yang menyebabkan harga tidak bagus kan karena ketika musimnya bagus, terangnya panjang,  garam krosok yang produksinya besar seperti Madura masuk ke Bali. Sehingga harga di Bali mengikuti harga yang ada di jawa, makanya jadi rendah,” pungkasnya.

Baca juga:  DAS Alami Alih Fungsi, BPDAS-HL Unda Anyar Gelar Rakor

Garam yang datang dari luar Bali banyak digunakan oleh industri pemindangan. Di samping itu juga, beberapa wilayah di Karangasem mengambil garam krosok dari Jawa untuk kemudian dimurnikan kembali di Bali. Garam tersebut dihancurkan dan dijemur kembali untuk menghasilkan garam yang lebih halus dan siap dipasarkan. “Dari sisi volume memang berkurang, tapi dari sisi nilai meningkat,” imbuhnya.

Namun, produksi garam di Bali belum cukup untuk memenuhi kebutuhan di Bali. Berdasarkan asumsi, volume hasil pemindangan di Bali 15.548 ton pada tahun 2016. Jika kebutuhan garam untuk pemindangan 10 persen, maka dibutuhkan 5.548 ton garam. “Kalau garam itu betul memang produksi dari Bali sebetulnya cukup, tapi kadang kala tidak hanya pemindangan, karena ada juga yang dimurnikan kembali,” tandasnya.(citta maya/balipost)

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *