Pelaku pariwisata Padangbai saat menemui perwakilan DPRD Karangasem. (BP/kmb)
AMLAPURA, BALIPOST.com – Rencana Pemkab Karangasem ikut mengelola Pelabuhan Rakyat Padangbai dengan membentuk badan pengelola dan manajemen operasional, mendapat perlawanan. Rabu (21/5), sedikitnya 25 warga yang terdiri dari perwakilan pengusaha kapal cepat, pedagang dan pekerja pelabuhan, menyampaikan aspirasinya ke Kantor DPRD Karangasem.

Mereka protes menyusul rencana Pemkab melakukan pungutan Rp 100 ribu kepada setiap turis yang hendak menyeberang ke Gili Trawangan. Mereka mengaku terpaksa menemui wakil rakyat karena protes dan keluhan yang mereka sampaikan kepada pemerintah melalui badan pengelola yang telah dibentuk, tak digubris.

Justru kemudian ada kesan Badan Pengelola selaku kepanjangan tangan pemerintah, memaksakan diri untuk memberlakukan perencanaan yang terakhir dibahas di Kantor Bappeda Karangasem itu. “Padangbai beda dengan Besakih ataupun Ujung. Di sana turis hanya singgah untuk menyeberang ke Gili Trawangan. Kalau kemudian ada retribusi Rp 100 ribu, kami khawatir turis termasuk para pemilik kapal cepat akan kabur,” ungkap koordinator aksi, Kadek Aris Suyasa.

Baca juga:  Ribuan Produk Berbahaya dan Ilegal Bernilai 800 Jutaan Rupiah Dimusnahkan

Menariknya, mantan Perbekel Padangbai dua periode ini masuk dalam struktur Manajemen Operasional Badan Pengelola Padangbai yang baru dibentuk. Dia mengaku terpaksa menyalurkan aspirasinya ke Dewan karena semua perencanaan terkait pengelolaan Pelabuhan Rakyat Padangbai akan segera disahkan. “Kami setuju dibentuk badan pengelola, tapi nilai retribusinya yang tidak bisa kami terima. Ke Gili Trawangan bisa lewat Pesinggahan, Sanur atau Serangan. Kalau sampai pengusaha boat membawa boatnya ke luar daerah, masyarakat Padangbai akan kehilangan pekerjaan,” ujarnya.

Baca juga:  Pasien Covid-19 di Tabanan Sembuh Lima Orang

Sebelum menentukan besaran retribusi, Aris Suyasa mengatakan Pemkab seharusnya belajar dari kasus wisata menyelam di Pulau Menjangan. Gara-gara tiket masuk diangkat menjadi Rp 300 ribu per wisatawan, para pemilik diver shop sempat memboikot wisata selam di sana. “Kalaupun ada retribusi, seharusnya Pemkab membangun sarana-prasarana yang memadai di sana. Kami di Padangbai, air saja masih sulit,” paparnya.

Perwakilan pengusaha kapal cepat, Made Wijaya, mengaku heran dengan rencana pungutan tersebut. Dia juga khawatir dengan legal standing pemungutannya karena hanya akan diatur melalui peraturan bupati. “Memang retribusi akan dibayar pengguna jasa, tapi salah-salah kita yang kena komplin. Sudah bayar tiket kok dikenakan retribusi lagi,” ungkapnya.

Baca juga:  Tangani Kemacetan Ubud Pengadaan Shuttle Bus Mendesak

Selaian itu yang juga memberatkan adalah adanya rencana pungutan lainnya dari Rp 30 ribu sampai Rp 300 ribu kepada kafe, restoran, penginapan dan warung yang ada di Padangbai. “Ini memang baru rancangan dan akan dipungut Badan Pengelola. Kalau diterapkan jelas ada dampaknya,” jelasnya.

Sementara itu, Pemkab Karangasem sendiri berkeinginan mengelola Pelabuhan Rakyat Padangbai karena banyak alasan. Selain pertimbangan risiko keamanan, juga selama ini potensi dari aktivitas penyeberangan ke Gili Trawangan praktis tidak memberi kontribusi kepada daerah. Hanya ada pungutan Rp 10 ribu yang sepenuhnya dikelola pihak Desa Adat Padangbai. (kmb/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *