lukisan
Kadek Suradi, salah satu pelukis kaca di Desa Nagasepaha, Kecamatan Buleleng. (BP/sos)
SINGARAJA, BALIPOST.com – Melukis wayang pada kaca masih ditekuni sejumlah seniman di Desa Nagasepaha, Kecamatan Buleleng. Lukisan yang cukup rumit ini diyakini sudah muncul sejak 1927 silam, saat zaman penjajahan.

Desa Nagasepaha berada tak jauh dari pusat Kota Singaraja. Alamnya masih asri. Hamparan sawah masih terbentang luas. Suasana perdesaan terlihat sangat kental. Masyarakatnya tak sepenuhnya bergelut pada sektor agraris. Beberapa juga ada yang masih menekuni profesi sebagai pelukis wayang pada kaca. Selain sebagai tempat mengais rejeki, keterampilan ini juga sebagai cara untuk memuaskan hasrat seni yang dimiliki.

Baca juga:  Wayan Koster Minta Berbagai Kebijakan Pembangunan Bali Era Baru Dilaksanakan

Warga yang menjadi pelukis rumit ini mencapai puluhan. Sebagian besar sudah berusia tua. Ditengah perkembangan zaman, regenerasinya masih berlangsung.

Salah seorang pelukis, Kadek Suradi menuturkan sesuai cerita yang beredar, lukisan ini muncul pertama kali pada 1927 silam, dibuat oleh seorang pemahat wayang kulit, Jero Dalang Diah. Itu bermula dari adanya seorang kaya raya membawa lukisan kaca dari Jepang yang berobjek wanita Jepang.

Saat itu, Dalang Diah ditawari untuk membuatkan lukisan serupa yang berobjek wayang. “Dalang Diah menerima tantangan itu. Tapi dengan catatan lukisan dari Jepang itu harus dikorbankan. Catnya langsung dikikis untuk mengetahui teknik pembuatannya. Ternyata ia berhasil membuat lukisan,” ujarnya, Selasa (9/5).

Baca juga:  Megawati Ingatkan Generasi Milenial Dikenalkan Wayang

Sejak itu, kemahiran melukisnya menular pada keluarganya maupun warga yang ada di sekitar tempat tinggalnya dan sampai sekarang masih bertahan. “Lukisan ini sudah menjadi ciri khas Buleleng. Tidak lagi Nagasepaha,” katanya.

Lukisan kaca di desa ini sangat unik. Goresan tinta cina dan cat minyaknya terlihat apik dan detail. Tidak seperti lukisan kanvas yang mengawalinya dari depan, tetapi dari belakang. Jika hendak mengisi ornamen huruf, penulisannya tidak dari kiri ke kanan, tetapi sebaliknya. “Wayang Buleleng punya karakter khas. Pakaiannya banyak,” ucap Suradi.

Baca juga:  Bawaslu Akan Mediasi Sengketa LADK Partai Gerindra Buleleng

Kekhasan itu, kata pria lulusan SMP ini telah mampu memikat pecinta lukisan untuk membeli. Beberapa ada yang memesan jauh-jauh hari. Menariknya, karyanya justeru dilirik seniman ternama untuk dijadikan koleksi. “Pembeli sampai sekarang masih ada. Tetapi tiga bulan terakhir, agak sepi. Tetapi kami merubah trik pemasaran biar tetap jalan,” terangnya.

Harga jual lukisan ini bervariasi. Itu tergantung tingkat kerumitannya. “Biarpun lukisannya besar, tapi kalau tidak rumit, harganya lebih murah. Begitu juga lukisan kecil, kalau rumit, bisa lebih mahal,” tandasnya. (sosiawan/balipost)

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *