SINGARAJA, BALIPOST.com – Bencana banjir bandang Februari 2017 lalu masih menyisakan persoalan serius. Tiga kepala keluarga (KK) warga korban bencana di Lingkungan Banyuning Utara Kelurahan Banyuning, Kecamatan Buleleng menghadapi persoalan serius. Setelah rumah mereka hanyut diterjang banjir bandang, dua KK hingga sekarang mengungsi di rumah tetangga dan satu KK lagi tinggal di rumah kontrakkan.

Pilihan mengungsi ini menunggu janji pemerintah membangun rumah permanen yang telah dijanjikan sebelumnya. Sayang, kepastian kapan pemerintah membangun rumah belum dipastikan. Ketiganya pasrah kalau semakin lama tidak bisa membangun rumah, mereka bingung karena tidak memiliki biaya membangun rumah atau mencari tempat tinggal baru.

Komang Sridana salah satu korban bencana banir bandang, Jumat (21/4) mengaku pasrah setelah janji bantuan pembangunan rumah belum jelas kapan direalsiasikan. Pria yang menjadi buruh serabutan ini sejak dua bulan menempati rumah kontrakkan yang tidak jauh dari lokasi bencana.

Di rumah kontrakkan itu, ada dua kamar yang ditempati oleh Sridana bersama istrinya Luh Mertasih dan anaknya Kadek Adi Sastiawan. Ruangangan kamar sempit memaksa, orangtuanya Made Candri diungsikan di rumah tetangganya. “Sudah dua bulan tinggal di kontrakkan, kamarnya sempit dan orangtua mengungsi di rumah tetangga. Kalau sewa belum bayar nanti setelah punya rumah baru saya lunasi,” katanya.

Baca juga:  Ratusan KK Belum Tersentuh Program Bedah dan Rehab Rumah

Sridana mengaku terpaksa menempati rumah kontrakkan dengan kondisi keterbatasan. Rumah kontrakkan milik tetangganya bernama Narda tanpa penerangan listrik PLN.

Rumah yang sejak lama kosong itu tidak memiliki sambungan pipa air bersih. Tak pelak, saban hari dia dan keluarganya harus pergi ke rumah tetangga meminjam kamar mandi dan meminta air bersih untuk memasak di dapur. Sementara, penerangan listrik ditangani dengan menyambung kabel dari rumah tetangga dengan biaya pembelian pulsa listrik Rp 30.000 tiap bulan.

Sementara orantuanya yang tinggal di di rumah tetangganya juga mengaku tidak nyaman. Bahkan, orangtuanya yang dikenal sebagai pembuat banten tidak bisa bekerja dengan nyaman di rumah tetangganya, sehingga pesanan banten tidak dilayani.

Jika ada, terpaksa dikerjakan di balai banjar atau orangtuanya datang ke rumah yang memesan banten. “Sangat tidak nyaman apalagi ibu saya tinggal di rumah tetangga kalau mau kerjakan banten tidak enak menganggu. Syukur tetangga di sini baik dan mau ngasi minta air atau pinjam kamar mandi untuk mandi atau buang air,” tuturnya.

Baca juga:  Dua Pekerja Tertimbun Longsor di Desa Taro, Satu Tewas

Hal serupa diungkapkan korban bencana, Ketut Yasa. Dia bersama istri dan empat orang anaknya terpaksa tinggal di rumah mertuanya. Keluarga ini sehari-hari menempati satu buah kamar sempit.

Yasa dan keluarganya juga merasa tidak enak karena terlalu lama tinggal bersama mertuanya. Maklum saja, sejak keluarganya tinggal bersama mertuanya biaya listrik atau air bersih di rumah mertuanya membengkak dan untuk aktivitas keluarga mertuanya terganggu. “Walau mertua saya, tetap merasa tidak enak terlalu lama numpang karena sejak saya tinggal di sana menambah beban mertua,” jelasnya.

Satu-satunya harapan yang ditunggu-tunggu agar kondisi memprihatinkan yang dialami Sridana bersama Yasa, dan Mertada bisa diatasi adalah menunggu realisasi bantuan rumah yang dijanjikan oleh pemerintah daerah. Sayang, janji tersebut belum dipastikan kapan terealisasi karena pemerintah daerah masih mencari kepastian sumber anggaran.

Baca juga:  Sehari-hari Jualan Kapur Sirih, Sukrani Nafkahi Dua Adik Disabilitas

Ketiganya kini pasrah setelah mendapat kabar kalau realsiasi bantuan pembangunan rumah terkesan “di-pingpong” dari Dinas Perumahan, Permukiman dan Pertanahan (Perkimtan) kemudian diserahkan kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Buleleng dan terakhir diusulkan ke BPBD Provinsi Bali. “Dulu lahan belum siap kami didesak siapkan lahan dan sekarang lahan sudah siap bangun, realsiasi bantuannya dilempar ke sana kemari. Mudah-mudahan tidak sampai berlarut-larut dan segara janji itu direalisasikan,” jelasnya.

Selain belum ada kepastian kapan akan dibangun, warga korban bencana ini waswas apakah nilai bantuan pembangunan rumah yang diplot tiap unit Rp 30 juta dipotong pajak cukup untuk membangun rumah hingga seratus persen. Apalagi dengan situasi harga bahan bangunan dan tarif tukang bangunan belakangan ini semakin melonjak, sehingga pemanfaatan dana bantuan itu harus dimanfaatkan dengan baik agar bisa mendirikan rumah layak huni. (Mudiarta/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *