Atraksi tektekan di desa pekraman Kediri yang digelar jelang perayaan hari raya Nyepi. (BP/bit)
TABANAN, BALIPOST.com – Tiap tahun jelang perayaan hari raya Nyepi ada suasana berbeda khususnya di desa Pekraman Kediri, Tabanan. Bila di tempat lain, kegiatan Nyepi disambut dengan pembuatan dan parade ogoh-ogoh atau keplug-keplugan, namun di Kediri justru digelar event budaya berupa Tektekan.

Tektekan Kediri-Nangluk Merana, demikian nama event tersebut akan berlangsung selama sebelas hari mulai dari tanggal 17 sampai dengan 27 Maret 2017 atau hari pengerupukan.

Event tahunan ini akan dikemas dalam bentuk parade. Bahkan, pada tanggal 25 dan 26 Maret 2017, event akan digelar khusus di depan Pura Puseh Desa Pakraman Kediri. Sedangkan penutupannya akan berlangsung pada 27 Maret 2017 yang rutenya mencapai Bundaran Kediri.

Baca juga:  Cegah Potensi Bahaya, Polairud Mesti Miliki Kompetensi Komunikasi

Bendesa Adat Desa Pekraman Kediri Anak Agung Ngurah Gede Panji Wisnu menjelaskan selama sebelas hari itu, seluruh warga desa pekraman Kediri mulai dari anak-anak sampai dewasa akan berkeliling desa sambil memainkan bunyi-bunyian dari berbagai sumber. Mulai dari kulkul atau kentongan, sampai dengan okokan atau alat musik berbentuk klonongan sapi berukuran besar. Bahkan ada pula yang memodifikasi dengan lantunan bleganjur.

“Total ada tujuh banjar di desa pekraman Kediri yang akan bergiliran keliling dari satu banjar ke banjar lainnya yang ada di desa kami,”jelasnya.

Lanjut dikatakannya, tradisi tektekan di wilayah desa Pekraman Kediri merupakan warisan turun temurun. Bahkan sampai saat ini tidak tercatat tentang sejarah kemunculannya. Namun konon, para tetua pernah menceritakan jika sebelumnya tradisi ini muncul bersamaan dari gerubug atau wabah yang terjadi di Kediri. “saat itu warga banyak mengalami sakit, ada yang meninggal, dan hasil tani gagal karena diserang hama,” ucapnya.

Baca juga:  Dibantah, Akses Internet Dibuka saat Nyepi

Karena merasa khawatir akan musibah yang terjadi saat itu, para tokoh masyarakat dan pemangku, sepakat untuk memohon petunjuk dengan melakukan persembahyangan di Pura Puseh yang ada di desa pekraman setempat. Saat itulah mereka mendapatkan petunjuk jika wabah tersebut bisa dihilangkan hanya dengan cara bunyi-bunyian. Dan atas petunjuk itulah, warga Kediri selama beberapa hari turun keliling desa dengan melakukan tektekan.

Hingga akhirnya terbukti segala wabah yang menyerang desa pekraman menghilang. Dan sejak saat itulah tradisi tektekan memiliki fungsi niskala untuk mengatasi nangkluk merana. Dan pelaksanaannya tidak bisa diprediksi karena tergantung ada atau tidaknya wabah di desa tersebut.

Baca juga:  Bandara Ngurah Rai Tutup 24 Jam, Ini Jumlah Penerbangan Tak Beroperasi

Namun seiring perkembangan jaman, atau tepatnya mulai tahun 2014 tradisi tektekan mulai berfungsi menjadi sebuah seni hiburan dalam bentuk seni tabuh. Bahkan desa setempat sepakat menggelar tradisi ini sebagai atraksi tahunan tepatnya saat umat Hindu akan merayakan hari raya Nyepi.

Selama pelaksanaan tradisi tektekan di desa pekraman Kediri, aparat desa setempat juga menghimbaunagar pengguna jalan bisa mencari jalur alternatif lain. “Kami sudah melalukan koordinasi dengan pihak kepolisian khususnya tentang pengamanan dan pengalihan arus lalu lintas,” pungkasnya. (puspawati/balipost)

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *