Suasana penghitungan suara Pilkada Buleleng. (BP/dok)

Oleh I Made Gede Ray Misno

Pemilih adalah salah satu unsur terpenting dalam Pemilu. Tanpa pemilih Pemilu tidak akan bisa diselenggarakan. Namun, sejak pemilu yang diselenggarakan oleh rezim KPU tahun 2004 sampai saat ini, tidak pernah menghasilkan partisipasi pemilih sampai 90 persen, seperti Pemilu zaman Orde Baru. Padahal, pemilihan langsung diselenggarakan untuk menjamin prinsip keterwakilan, akuntabilitas dan legitimasi.

Muhammad Asfar dalam Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004, (2006) menyebutkan bahwa hal ini bisa terjadi karena pada pemilu-pemilu sebelumnya rakyat dipaksa untuk mengikuti pemilihan. Rakyat diintimidasi oleh aparat untuk mengikuti pemilu dan harus mencoblos salah satu kontestan peserta pemilu.

Pegawai negeripun harus mencoblos di masing-masing kantor mereka. Sehingga bisa diketahui siapa-siapa yang berani mencoblos di luar kehendak penguasa, dijamin akan diberikan sanksi, bahkan bisa sampai dipecat.

Berbeda dengan pemilu yang diselenggarakan setelah reformasi oleh rezim KPU, tidak ada paksaan atau intimidasi untuk memilih. Memilih adalah hak bagi warga Negara, bukan kewajiban sebagaimana tercantum dalam Undang-undang.

Baca juga:  Tunggu Surat MK, KPU Tunda Penetapan Hasil Pilkada
Untuk dapat memilih, pemilih harus terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Bagi warga Negara yang telah memiliki hak memilih, namun tidak terdaftar dalam DPT bisa menggunakan E-KTP (bahkan sebelumnya menggunakan KTP atau KK).

Namun kenyataan, setiap pemilu diselenggarakan selalu ada pemilih yang tercecer dan pemilih yang tidak hadir (Golput) ke TPS. Permasalahan pemilih tercecer dan Golput di tiap daerah berbeda-beda karakternya.

Semakin tinggi persaingan calonnya atau calon dianggap mampu membawa perubahan, seperti Pilpres 2014 atau Pilgub 2017 DKI Jakarta, semakin tinggi partisipasi politik masyarakatnya. Sebaliknya, semakin rendah daya saing calonnya semakin rendah partisipasi pemilihnya atau golput nya tinggi.

Polemik pemilih yang tercecer dan Golput juga masih muncul pada pilkada gelombang ke dua yang baru saja diselenggarakan 15 Februari 2017 yang lalu. Bahkan yang mempermasalahkan tokoh-tokoh politik nasional, selain para calon sendiri.

Kemudian menuduh penyelenggara tidak becus menyelenggarakan pemilu dan merasa dicurangi. Tuduhan itu tidaklah sepenuhnya benar.

Undang-undang No 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, serta Wali Kota, pasal 80 ayat (1) menyebutkan; jumlah surat suara yang dicetak sama dengan jumlah pemilih tetap ditambah dengan 2,5 persen (dua setengah persen) dari jumlah Pemilih tetap sebagai cadangan, yang ditetapkan dengan Keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.

Dan pasal 81 ayat (1) menyebutkan; Tambahan surat suara sebagaimana dimaksud dalam pasal 80 ayat (1) digunakan sebagai cadangan di setiap TPS untuk mengganti surat suara Pemilih yang keliru memilih pilihannya, mengganti surat suara yang rusak, dan untuk Pemilih tambahan.

Baca juga:  Demokrat Bangli Usung Mudarta Sebagai Cagub 2018
Ada kontradiksi antara pemilih tercecer dan Golput dengan undang-undang tersebut di atas. Di satu sisi penyelenggara pemilu diharuskan mencetak surat suara yang terbatas sesuai dengan jumlah pemilih tetap plus 2,5 persen, sebagai cadangan untuk mengganti surat suara rusak dan untuk pemilih tambahan. Di sisi lain pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT berhak memilih dengan menunjukkan E-KTP.

Pasal 87 ayat (1) menyatakan Pemilih untuk setiap TPS paling banyak 800 (delapan ratus) orang. Ini artinya, bahwa di setiap TPS hanya ada 20 lembar surat suara cadangan. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, semakin tinggi persaingan calon atau calon dianggap mampu membawa perubahan, partisipasi pemilih yang hadir ke TPS semakin tinggi pula.

Jika pemilih yang terdaftar dalam DPT hadir ke TPS menggunakan hak suaranya sebanyak 75 persen. Itu artinya, jumlah pemilih DPT yang hadir ke TPS sebanyak 600 orang dan yang tidak hadir ke TPS sebanyak 200 orang.

Jadi, ada sisa surat suara sebanyak 220 lembar, dengan catatan surat suara cadangan (2,5%) tidak ada yang terpakai dengan alasan pemilih DPT ada yang salah coblos atau surat suara yang rusak, sehingga surat suaranya diganti yang menyebabkan sisa surat suara berkurang.

Sisa surat suara tersebutlah yang bisa digunakan oleh pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT. Jadi, kalau ada pemilih yang menggunakan E-KTP lebih dari 220 orang dalam suatu TPS, sangat mungkin pemilih tersebut tidak dapat menggunakan hak pilihnya, karena sisa surat suara sudah habis terpakai di TPS tersebut, sehingga mereka inilah yang menjadi pemilih yang tercecer.
Sebaliknya, di daerah yang menyelenggarakan pilkada yang persaingannya tidak terlalu ketat atau mungkin dianggap tidak akan banyak membawa perubahan, jumlah pemilih yang hadir ke TPS pasti rendah. Pemilih yang memiliki hak pilih tetapi tidak terdaftar dalam DPT, jarang yang dengan sadar mau datang ke TPS, sehingga partisipasi politik masyarakatnya juga rendah.

Tetapi siapapun tidak dapat mengklaim rendahnya partisipasi politik atau tingginya Golput dan banyaknya pemilih yang tercecer menyebabkan seseorang kalah dalam pemilihan. Masalah pemilih yang tercecer dan rendahnya partisipasi politik masyarakat (Golput) tidak bisa ditimpakan kesalahannya begitu saja kepada penyelenggara, justru ini lebih menjadi tanggung jawab stakeholder peserta Pemilu yakni Partai Politik dan calon (baik calon ekskutif maupun calon legislatif).

Undang-undang juga tidak jelas, apakah pendaftaran pemilih menggunakan system stelsel aktif yang artinya pemilihlah yang aktif mendaftarkan diri sebagai pemilih, atau stelsel pasif yang artinya Negara melalui petugas penyelenggara pemilu yang mendaftarkan warganya yang memiliki pilihan.

Kalau menganut mix system seperti saat ini, sebaiknya jumlah surat suara cadangan di TPS dinaikkan persentasenya, sehingga surat suara tersedia dengan memadai di setiap TPS. Jadi, tidak perlu mencari kambing hitam lagi. Banyaknya pemilih yang tidak hadir ke TPS juga disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi, KTP-nya beralamat di tempat A, tetapi tinggal dan menetapnya di tempat B.

Kasus seperti ini banyak terjadi di kota-kota besar Indonesia. Kalau didaftarkan pemilih tersebut potensial menjadi golput, karena tidak tinggal di alamat tersebut. Kalau tidak di daftarkan, apabila terjadi pemilihan yang ketat seperti yang dijelaskan di atas, pemilih tersebut hadir dengan menunjukkan KTP.

Penulis, Staf Pengajar di STISPOL Wira Bakti

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *